Karena Wanita Bukanlah Barang Dagangan

Home Articles Karena Wanita Bukanlah Barang Dagangan
Share the knowledge!

Awal tahun baru 2016 lalu, seorang sahabat saya melamar seorang gadis calon doktor (S3) yang kata sangat ia cintai yang ia kenal baru tiga bulan di media sosial, ia kemudian melamarnya di bulan ke empat dan setelah berhitung-hitung keluarga sang wanita meminta 114 juta untuk menyelenggarakan pernikahan tersebut. Pernikahan berjalan lancar, namun ia kemudian shock dan hampir masuk rumah sakit jiwa setelah menikah karena stress mulai tidak mampu membayar hutang dan menebus barang-barang yang ia gadai.

Baru-baru ini selepas bulan puasa teman saya menikah dengan orang Sulawesi (Bugis), ia menghabiskan anggaran 90 juta, lalu setelah menikah mereka menyewa kamar kosan seharga 300 ribu/bulan untuk dijadikan tempat tinggal mereka dan ia sering datang kepada saya untuk curhat karena sering bertengkar dengan isterinya.

Lihatlah betapa lucunya masyarakat kita.

“Saya membenci kapitalisme yang menjadikan hari perkawinan sebagai komoditas yang lebay mewah” – Lex dePraxis

Dalam sebuah artikel yang ditulis Lex tersebut, saya perlu merasa untuk setuju dengan statement Lex terkait kapitalisme pernikahan/perkawinan, namun, saya tidak mempersoalkan besaran atau angkanya dana pernikahan tersebut yang membuatnya menjadi super lebay mewah itu, namun yang saya persoalkan dalam tulisan ini ialah pergeseran nilai guna ke nilai tukar yang terkadung dalam penikahan tersebut.

Dalam dunia bisnis, produk kini tidak lagi dijual nilai kegunaannya, melainkan nilai tukarnya. Sebuah tas kulit, tidak lagi dijual oleh Louis Vuitton dengan nilai kegunaan tas itu, yakni kegunaannya sebagai tempat menaruh barang-barang, melainkan tas itu dijual oleh Louis Vuitton dengan nilai tukarnya, yang kemudian menghasilkan nilai tanda simbolik (symbolic value) yang dimiliki tas tersebut.

Nilai simbolik yang melekat pada seseorang yang memiliki tas LV adalah seseorang yang kaya dan mapan. Karena dia yang membeli tas puluhan bahkan ratusan juta tersebut tentu tidak lagi peduli dengan nilai guna tas itu, melainkan nilai tukar yang menjadikan dia memiliki nilai simbolik.

Jean Baudrillard dalam bukunya The Consumer Society pernah menjelaskan tentang Commodity Sign. Penjelasannya adalah bagian dari pengembangan pemikirannya yang ia dapat dari pemikiran Karl Marx tentang Commodity Fetishism.

Telah lama saya belajar tentang kapitalisme sejak tahun 2010 tahun 2015 saya kembali memperdalamnya lagi di studi master saya. Dan kini saya sadari benar bahwa ada yang tidak beres dengan masyarakat kita saat ini di Indonesia.

Kapitalisme ternyata tidak hanya berada di area ekonomi dan bisnis. Kapitalisme juga telah mengakar lama dan merasuk ke dalam tubuh kebudayaan yang terajut dari benang-benang kebiasaan-kebiasaan yang terus-menerus dilestarikan.

Kapitalisme, adalah di mana para pemilik modal alias orang yang memiliki modal dan menguasai alat produksi lah yang menguasai pasar dengan tujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme ini yang telah melahirkan pemikir dunia seperti Karl Marx yang kemudian menuangkan pemikirannya dalam Das Kapital. Pemikirannya pun kemudian direvisi dan disesuaikan oleh pemikir-pemikir setelahnya dengan kondisi jaman mereka seeprti Jean Baudrillard, Michel Foucault, Max Horkheimer dan lain sebagainya.

Bagi saya, pernikahan dewasa ini telah menjadi commodity sign,

Bagaimana tidak, pernikahan di Indonesia telah mengalami pergeseran dari nilai guna (use value) ke nilai tukar (exchange value). Pernikahan kini bukan tentang bagimana kedua mempelai itu bisa menikah karena dasar kemauan mereka, bukan karena paksaan, atau tekanan pihak lain maupun lingkungan, tetapi pernikahan kini ialah tentang seberapa besar dan megah mahar dan acara pernikahan yang diselenggarakan.

Nilai guna sebuah pernikahan yang semestinya menjadi ajang sakral penyatuan dua insan manusia beserta menyatunya kedua keluarga besar kini digantikan dengan sebuah nilai tukar yang simbolik. Nilai tukar itulah yang kemudian dibeli oleh konsumen saat ini.

Hal yang kemudian terjadi saat ini ialah pernikahan menjadi komoditas, dan wanita kini menjadi produk yang diperjual-belikan dengan harga tertentu, tak ubahkan komoditas dagangan.

Di daerah kelahiran saya, Ternate, sebuah kota kecil berkembang  yang bisa kamu singgah hanya dengan 3 jam perjalanan pesawat langsung dari Jakarta. Di Kota ini banyak sekali kelucuan yang terjadi. Lihatlah, angka komoditas pernikahan untuk produk lulusan SMA, Sarjana, Dokter, Master maupun Doktor dibedakan dengan harga tertentu. Untuk melamar anak gadis yang berlatar belakang pendidikan lulusan SMA, anda harus mempunyai uang cash yang berkisar diangka 30jutaan. Sarjana diangka 90jutaan. Dokter dan Doktor berada diangka 100-150 jutaan. Ini adalah pasar komoditas pernikahan di daerah saya yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan dalam kurun waktu hampir satu dekade ini.

Angka-angka harga tersebut bukanlah angka yang biasa, angka itu adalah angka yang merepresentasikan nilai, dan nilah mana lagi kalau bukan nilai tanda (sign value). Dan masyarakat kita kini tidak lagi mengkonsumsi komoditas sandangan, pangan dan papan melainkan mengkonsumsi TANDA. Tidak percaya? Maka jawablah pertanyaan sepele ini, “Apa bedanya pernikahan dengan menghabiskan dana 1 juta dengan pernikahan yang menghabiskan dana 100 juta?

Apakah ada perbedaannya dari segi nilai guna. Tentu tidak. Yang membedakan keduanya hanya pada nilai tukarnya. Dana pernikahan 100 juta akan memberikan nilai tukar kepada kedua mempelai dan keluarganya khususnya mempelai wanita dengan nilai simbolik, bahwa anaknya telah bahagia dan menikah dengan seorang pria yang mapan.

Jika resolusi tahun 2017 kamu adalah menikah, pastikan itu bukan karena kamu ingin mendapatkan (pe)nilai(an) tertentu, baik dimata lingkungan, (tetangga), teman, maupun keluarga (orang tua). Saya sarankan anda menyelami artikel yang sangat mencerahkan ini. Semoga kita semua dapat tercerahkan.

Share the knowledge!