Dalam dunia romansa, tampak ada dua kubu berseberangan yang selalu menilai bahwa kubu merekalah yang lebih bahagia, dan kubu lawannya adalah yang menderita.
Kedua kubu itu adalah “si jomblo” dan “si in-relationship“.
Opini masyarakat berhasil digiring untuk sependapat dengan persepsi “Value mereka yang sudah punya pasangan itu lebih tinggi daripada mereka yang masih menjomblo”. Ibarat dalam agama Hindu, yang sudah punya pacar menduduki kasta “Brahmana” dan yang menjomblo menduduki kasta “Sudra”.
Sehingga tidak sedikit menghasilkan cibiran miring untuk si jomblo seperti “jomblo hina, nggak laku, jomblo ngenes” dan sebagainya. Sementara si jomblo hanya bisa membela diri dengan “jojoba, ijo lumut, jomblo terhormat, jomblo itu pilihan, kebebasan absolut” dan sebagainya.
Kedua kubu ini terlihat seperti kakak beradik yang saling ledek-ledekan. Si kakak yang sudah kuliah meledek adiknya yang masih SMA “Hari gini masih jaman pakai seragam?” Dan si adik membalas “Halah, orang yang udah lulus bertahun-tahun aja kadang kangen masa SMA.”
Persepsi seperti ini justru berakibat buruk bagi kedua kubu. Kenapa? Karena bagi si jomblo, ada kecenderungan tujuan mereka ingin segera mencari pasangan adalah agar mereka tidak dipandang rendah. Padahal seharusnya adalah untuk saling berbagi kebahagiaan setelah diri sendiri merasa sudah berlimpah kebahagiaan.
Sedangkan dampak buruk bagi mereka yang sudah berpasangan adalah memilih untuk mempertahankan hubungannya yang sudah tidak sehat daripada maerasa terhina menjadi seorang jomblo.
Padahal kalau ditelaah lebih lanjut, tidak ada yang salah dengan status jomblo.
1. Jomblo itu hina
Jomblo adalah kondisi di mana seseorang sedang tidak memiliki pasangan, titik. Lalu apa yang salah dengan itu? Dimana letak kondisi ini yang merusak nama baik penyandangnya? Kalau jomblo itu hina, berarti semua orang punpernah jadi hina dong?
2. Jomblo itu ngenes
Katanya kehidupan jomblo itu nggak happy, tapi ketika pacaran happy banget. Berarti kebahagiaannya bergantung pada ada atau tidaknya pasangan. Sumber kebahagiaannya cuma datang dari pasangan. Memiliki pasangan supaya memperoleh kebahagiaan. Maka jelas ketika berpacaran, mereka menjadi dua orang kelaparan yang berharap bisa dikenyangkan oleh pasangannya yang juga sedang kelaparan.
3. Jomblo nggak laku
Bicara tentang laku-nggak laku seperti bicara tentang penjualan produk. Dalam upaya penjualan produk, bagian penjualan dan pemasaran harus bekerja sama dan tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Daya jual produkdipengaruhi dua faktor utama, yaitu kualitas produk dan pemasarannya. Lamborghini yang disimpan di bunker tidak akan membuat orang sadar akan keberadaan mobil mewah tersebut. Dan becak berkarat yang dipamerkan di showroom pun juga tidak akan ada yang mau beli kecuali tukang loak.
Jadi yang menyebabkan Anda tetap menjomblo adalah karena antara kualitas diri Anda yang kurang menarik atau Anda yang kurang bergaul.
4. Jomblo & pacaran punya kebahagiaan tersendiri
Ketika menjomblo, Anda memiliki kebebasan penuh atas diri dan kebahagiaan Anda sendiri. Anda bisa hangout kemanapun dan kapanpun, bebas melakukan kegiatan yang Anda suka tanpa ada yang protes karena merasa Anda abaikan, tidak ada yang mengajak Anda untuk berdrama menguras emosi, dan Anda bisa bebas mengenal-ngobrol-jalan dengan banyak lawan jenis tanpa ada yang menuduh Anda selingkuh atau pun merasa cemburu.
Itu semua adalah hal yang hampir tidak bisa diakses mereka yang sudah berpasangan.
Sedangkan yang berpasangan bisa menghabiskan waktu bersama di akhir pekan, punya kesempatan belajar membina hubungan, mendapat kejutan dan perhatian lebih, ada yang bisa digandeng atau bahan untuk dipamerkan ketika di tempat tongkrongan, ada yang bisa memberikan Anda kecupan dan peluk hangat.
Itu semua adalahhal yang hampir tidak bisa diakses oleh mereka yang jomblo.
Coba perhatikan, keduanya punya kebahagiaannya masing-masing, keduanya setara, lalu kenapa Anda merasa kubu yang satu terlihat lebih suram?
Yang perlu Anda lakukan adalah menikmati apa yang sekarang bisa Anda akses.