Susah Move On, Atau Nggak Mau Move On?

Susah move on? Sebenarnya, move on itu bukan perkara susah atau gampang. Tapi mau atau tidak. :)

Jika kamu tinggal di masa lalu, mengingat setiap detil kecil dan diam-diam berharap bahwa kamu bisa memutar kembali waktu, kemudian pindah ke masa lalu itu sesuatu yang mustahil. Kamu dapat melihat ke belakang, kadang-kadang. Tetapi dalam rangka untuk move on, kamu harus bergerak maju, bukannya tinggal, apalagi mundur dan berteman dengan masa lalu kamu.

It’s actually easier said than done. The big question is: Are you ready to move on and find yourself a brand new adventure? Or are you too comfortable in your old blanket of memories, so you refuse to fold and keep it somewhere safe? Then, whether to move on or to stay where you are, cry your eyes out and making all those excuses are the matter of choices. YOUR CHOICE. You choose what you want to do.

So, it’s not that you can’t, but you dont want to. Bukan kamu nggak bisa, tapi kamu nggak mau.

Kenapa move on susah? Karena lebih gampang memaafkan orang lain daripada memaafkan diri sendiri. Sometimes it just too damn hard.

Kalau dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit, lalu ternyata salah pilih, rasa menyesalnya berkepanjangan. Yang sering kita lupakan, menyesal tak pernah berguna. Apa buah penyesalan? Galau terus-terusan? Then, what’s the point?

Kalau terus menerus menyesali diri, and could never forgive ourselves, we could easily turned ourself into cold hearted bitches or jerks. Ouch!

Lalu, bermacam excuses bermunculan. Begitu ada yang ngasih solusi, kita langsung pasang perisai pelindung diri, lalu mementalkannya dengan cara bersikap defensif dan menuduh ala “You don’t walk in my shoes” atau “Lo nggak tau apa yang gue rasain”. Ya, tentu, di dunia ini cuma kamu satu-satunya orang yang pernah putus cinta. Orang lain belum pernah. Ya, ya.

Di sinilah self denial dimulai. Otak dan hati menolak untuk move on. Semua masukan kamu smash balik. You build the thick wall. The question here: How could you move on if you live in the fantasy land called self denial?

Only you can help yourself. So please stop making excuses such as “you don’t walk in my shoes”, and please, learn to see “you” from a different angle.

Salah satu cara sederhana: menulis semuanya. Pikiran kamu, perasaan kamu, dan biarkan otak kamu, bukan hati kamu untuk hal-hal analisis. Kemudian, mungkin kamu akan menyadari, kamu sudah seperti seorang pengecut untuk tidak membiarkan hal-hal yang sudah terjadi itu pergi. Yeah, you were the queen/king of all drama.

Point terpenting menuliskan apa yang terjadi, adalah jujur pada diri sendiri. Kalo sama diri sendiri aja gak bisa jujur, percuma. Jangan memanjakan perasaan denial itu. I’ve been there. Many times. But now I’m stronger than yesterday.

If you think you’re happy just because you live in denial, you are wrong. Mulut bisa berkata “saya nggak apa-apa, saya bahagia”. Tapi, hati nggak akan bisa berbohong. ;)

Banyak lho orang yang stuck, nggak sadar dirinya hidup dalam denial, sambil terus melakukan pembenaran. Jadinya terjebak dalam ilusi bahwa hidup itu penuh penderitaan, dirinya lah manusia yang paling menderita di dunia, penderitaan orang lain nggak sebanding dengan sakit hati yang dia rasakan.

So, try to forgive yourself. Once you did, you will see there will be rainbow after the rain, and the world is not made of black and white color only.

Remember: If you learn to let go, you will gain so much more.

Good luck!

___________________

Artikel ini adalah artikel yang dikirim oleh pembaca Kelas Cinta dan dimuat di halaman utama. Ingin artikel kamu dimuat di Kelas Cinta? Caranya gampang. Tinggal post artikel kamu ke forum di link ini di kategori yang sesuai. Bila pesan, isi, dan tata bahasanya sesuai dengan budaya Kelas Cinta, kita akan muat di halaman utama! Yuk berbagi kisah kamu sekarang!