Judul di atas bisa jadi pertanyaan nomor satu bagi semua pria di dunia, terutama mereka yang sudah menjalani hubungan romansa. Tanyakan pada kaum wanita, mereka akan menjawab, “Drama? Drama?! Tolong deh.. Kenapa sih elo selalu ngejudge orang? Dari kecil gue udah capek diperlakuin begitu sama orangtua, temen-temen sekolah, kuliah, trus kantoran. Laki-laki rese, brengsek, asal ngomong aja apa yang ada di pikirannya. Orang kayak elo tuh yang bikin kaum perempuan ditindas cuma bisa jadi babu doang, ngga boleh nunjukin emansipasinya. Ih jijik gue, sumpah keterlaluan banget. Denger baik-baik nih ya, gue paling anti ama drama!!!”
Hmmm… katanya nggak suka drama…
Drama bisa dimunculkan dalam bentuk berpura-pura tenang tapi sikap menunjukkan sebaliknya, membesar-besarkan masalah, mengungkit kesalahan-kesalahan yang sudah lewat, menyambung-nyambungkan situasi atau fakta, dan yang paling rumit adalah mengalah dengan sengaja agar pihak lain merasa bersalah (atau biasa dikenal dengan istilah Blame Game).
Jika mau super lengkap, ada banyak sekali penjelasan mengapa wanita memiliki hobi bermain hal-hal tersebut. Berikut adalah beberapa yang paling signifikan:
- Drama membuat mereka merasa penting. Coba ingat baik-baik sejarah setiap dramatisasi konflik yang terjadi dalam romansa Anda. Biasanya bisa ditelusuri pada perilaku Anda yang seolah-olah tidak lagi membuatnya merasa menjadi bagian penting -kalau bukan yang terpenting- dalam hidup Anda. Yang dia ungkit mungkin perilaku seperti telat jemput, jarang kasih kabar, tidak bisa ambil hati orangtuanya, atau mendadak beritahu ada undangan resepsi (klasik). Namun perilaku itu sendiri tidak sebegitu penting dibandingkan pesan yang dia tangkap di dalam hati, “Dia melakukan X, Y, Z itu pasti karena aku sudah tidak penting lagi.”
- Drama membuatnya terlalu sibuk mengamati hidup orang lain agar tidak punya waktu mengamati kesalahan dan kelemahan diri sendiri. Dalam pelatihan, saya selalu menegaskan pembelajaran ini berulang-ulang, “A woman’s problem is her insecurity, while a man’s is his immaturity.” Jadi untuk dapat menciptakan ilusi seolah-olah aman (secure) dan tidak bermasalah, ia menuding-nuding perilaku ketidakdewasaan sang pasangan dan membicarakan panjang lebar dengan teman-temannya. Kekuatan misdireksi. Siapa bilang wanita tidak bisa jadi pesulap?
- Drama merupakan mekanisme pertahanan ketika sudah terpojok. Ini mungkin stereotip dangkal, namun semakin lama berada dalam sebuah hubungan romansa, kemampuan problem-solving seorang wanita semakin menurun dibandingkan sebelum era hubungan tersebut. Istilah pendeknya, manja. Jadi ketika ia merasa terpojok kebingungan menghadapi sesuatu, daripada duduk diam merasa bodoh karena tidak bisa memikirkan solusi, ia mengalihkan energinya dalam sebuah pelampiasan drama emosional yang meledak-ledak, dengan harapan orang lain bersedia memperbaiki keadaan untuknya.
- Terakhir, drama merupakan kesempatan baginya untuk menguji sang pasangan. Dalam workshop ada satu baris kalimat yang akan menyadarkan Anda, “If they’re giving you hell, you should be proud cos they’re doing their job well!” Ketika Anda bisa merespon dengan menunjukkan kualitas sebagai pria yang stabil dan kuat, barulah mereka merasa memiliki area nyaman untuk bersandar dan mempercayakan seluruh hidup pada Anda.
Ribuan tahun yang lalu, dikenal seorang wanita yang memulai kebiasaan drama ini. Ketika sadar baru saja melakukan sebuah kesalahan besar, dia buru-buru memanggil sang kekasih, membujuk dan melibatkannya dalam kekacauan tersebut. Drama tersebut berhasil. Wanita itu bernama Hawa.
Do yourself a favor: Sebagai pria, jangan bahas tentang tulisan hari ini kepada pasangan Anda. Hayati saja dalam hati dan telan pil pahit ini diam-diam; rasanya tidak enak, tapi setidaknya Anda kini mengerti mengapa dia melakukan apa yang selama ini dia lakukan.