Sebagai wanita, tentunya kita sudah disuguhi berbagai cerita indah mengenai percintaan sejak kecil, Semua kisah tersebut berujung pada pernikahan, alias “…and they live happily ever after.” Nggak hanya di cerita dongeng, tapi juga melalui berbagai media lain. Sebuat saja komik, novel, drama di televisi, film
Berbekal opini seperti ini, nggak jarang ada wanita yang akhirnya ngebet ingin menikah. Nggak peduli finansial belum mapan, maupun hubungan belum stabil. Disangkanya, setelah hari pernikahan, semuanya akan indah. Hari pernikahan dijadikan garis finishnya.
Padahal…
Menikah NGGAK Membawa Rejeki
Punya banyak anak juga nggak membawa rejeki, ngomong-ngomong. Mau tau apa yang membawa rejeki? Bekerja.
Saya pernah membaca istilah “dua kepala untuk satu kehidupan” untuk menggambarkan bagaimana rejeki akan datang dalam pernikahan. Sayangnya, meski terdengar sangat menggoda, analogi ini salah sama sekali. Nggak ada yang namanya satu kehidupan. Memangnya setelah menikah, yang perlu dikasih makan jadi cuma satu orang? Heh.
Meski sudah menikah, masing-masing pihak masih memiliki mulut dan perut mereka masing-masing. Belum lagi bila salah satu ataupun kedua pihak memiliki komitmen untuk membiayai orang tua. Jadi ada berapa perut yang perlu diurus? Sementara yang bekerja tetap sama: dua orang.
Sekarang bayangkan bila kedua orang yang bekerja ini belum mapan. Untuk mengurus diri sendiri saja, masih pas-pasan. Belum punya tabungan lebih dari sepuluh juta. Gaji bulanan hanya numpang lewat saja. Lalu menikah. Uang yang tadinya bisa dipakai untuk diri sendiri, jadi harus dibagi dan disisihkan untuk kebutuhan rumah tangga, seperti bayar listrik, air, pembantu rumah tangga (bila perlu), juga untuk masa depan bila mau punya anak.
Do the math. Please. Rejeki dari mana? Dua kepala untuk satu kehidupan bagaimana?
Masalah Akan Terasa Lebih Intens
Ketika masih berpacaran, usai ngapel biasanya masing-masing orang akan kembali ke rumah masing-masing dan nggak bertemu lagi sampai… keesokan harinya, atau minggu depan, atau bahkan mungkin bulan depan. Masing-masing pihak memiliki waktu pribadi untuk “memulihkan diri”. Misalnya selama bersama tadi ada masalah dengan pasangan, namun pada akhirnya kita kembali ke rumah masing-masing dan memiliki waktu untuk menenangkan diri. Sehingga ketika bertemu lagi dengan pasangan, kita sudah fresh lagi.
Dalam pernikahan, waktu pribadi ini dieliminasi. Sehingga meskipun kamu habis bertengkar dengan pasangan, kamu nggak bisa pulang ke rumah orang tuamu lagi saat malam tiba. Kita harus tetap menghadapi pasangan tanpa punya banyak waktu untuk menenangkan diri.
Apalagi, hal-hal menyebalkan kecil yang kamu lihat ketika masa berpacaran, akan menjadi 10 kali lipat lebih sering kamu lihat ketika sudah menikah. Jadi kalau komunikasi selama pacaran belum stabil, lebih lebih nanti kalau sudah menikah.
Saya adalah penganut paham menikah itu satu kali seumur hidup. Kalau kamu sepaham dengan saya, tentunya kita lebih harus ekstra hati-hati dalam memilih pasangan hidup, bukan? Karena sekali kita menikah dengan orang yang salah, maka kita terjebak seumur hidup. Oleh karena itulah, sebaiknya keputusan menikah jangan disepelekan. Perlu ada pertimbangan yang matang dan pikiran yang jernih di baliknya.
Ingat : Cinta boleh, tapi otak harus dipakai.