3 Pertanyaan Mengenai Pernikahan Yang Sering Dilupakan Orang

Hampir semua orang di dunia ini mendambakan pernikahan yang meriah. Pernikahan adalah salah satu momen langka yang mungkin hanya terjadi satu kali seumur hidup. Kecuali kamu adalah orang yang tajir melintir dan memiliki hobi nikah, maka bisa saja kamu menikah sebanyak yang kamu mau.

Namun, sebelum kamu iri dengan foto-foto pre-wedding yang bertebaran di sosial media, ada baiknya kamu menyadari bahwa kehidupan pernikahan itu tidaklah semanis yang terlihat. Pernikahan adalah pintu gerbang dari 1001 masalah. Ketika kamu memutuskan untuk menikah, maka kamu harus siap dengan konsekuensi yang terjadi di masa depan. Ada banyak sekali faktor-faktor yang membuat pernikahan kamu berakhir tidak bahagia.

Kalau kamu benar-benar ingin menikahi pasangan kamu dalam jangka waktu dekat, alangkah bagusnya bila kamu mau mencermati kembali ketiga pertanyaan di bawah ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan fakta-fakta yang PASTI akan kamu temui di dalam kehidupan pernikahan. Hati-hati, pertanyaan-pertanyaan ini bisa membuat tenggorokan kamu tercekik. Saya tidak bohong.

Are you ready?

1. Berapa Gaji atau Penghasilan Kamu Dalam Sebulan?


via Pexels

Jujur saja, saya sudah bosan mendengar komentar orang-orang yang dengan santainya berkata: “Menikah bisa membuka pintu rezeki. Jadi tidak perlu pusing-pusing mikirin biaya.”

Tentu saja itu hanya sekadar opini tanpa bukti. Pada tahun 2015 yang lalu, data dari World Bank mencatat bahwa Indonesia menempati peringkat 9 dalam daftar negara dengan jumlah orang miskin terbesar di dunia. Persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai sebelas persen dari total penduduk 270 juta jiwa.

Sebelum menikah, segera cek dulu berapa jumlah gaji atau penghasilan kamu dalam sebulan. Karyawan di Indonesia biasanya rata-rata digaji Rp 2.500.000-3.000.000/bulan. Kalau gaji kamu masih berputar-putar di angka itu, maka saya sarankan untuk menabung dulu atau mencari sumber penghasilan lain untuk menambah pundi-pundi keuangan kamu.

Mengapa saya sarankan begitu? Karena masalah ekonomi adalah penyebab utama perceraian di Indonesia. Data dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI menyebutkan bahwa terdapat 285.184 kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya. 70% perceraian disebabkan oleh faktor ekonomi dan yang mengajukan cerai adalah istri yang beralasan suaminya tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Katakanlah gaji atau penghasilan kamu adalah Rp 3.000.000/bulan. Bila kamu sudah menikah, berarti kamu harus menghidupi pasangan kamu juga. Belum lagi harus membayar cicilan kredit sepeda motor, rumah kontrakan, dan tagihan-tagihan lainnya. Saya yakin gaji kamu hanya sekadar lewat saja tanpa pernah kamu nikmati. Syukur-syukur kalau pasangan kamu juga sudah bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Bagaimana kalau tidak?

Kalau kamu masih yakin bahwa menikah bisa membuat pintu rezeki terbuka lebar dan membuat kaya raya, maka silakan saja menikah. Asal nanti jangan mengeluh miskin di akhir bulan.

2. Tinggal di Mana Setelah Menikah?


via Pexels

Saya adalah penganut paham ‘ngapain nikah di gedung tapi tinggal di rumah kontrakan’. Karena lucu saja melihat acara pernikahan dilangsungkan megah di sebuah gedung, tetapi pengantinnya malah tinggal di rumah kontrakan. Terlalu menghambur-hamburkan uang yang tidak perlu. Itu cuma masalah ego dan gengsi saja. Orang-orang lebih suka terlihat kaya raya dan mapan ketimbang kaya raya beneran.

Pada kenyataannya, masih banyak pengantin baru yang berjubel di rumah kontrakan setelah melangsungkan pernikahan megah. Itu tidak sepenuhnya salah. Harga rumah yang selangit memang nyaris tidak bisa dibeli dengan gaji karyawan pas-pasan. Namun, tinggal rumah kontrakan sangat merugikan dalam jangka waktu panjang.

Bisa jadi uang tabungan kamu langsung habis hanya untuk membayar sewa rumah. Padahal inflasi di Indonesia terus meningkat dan kamu harus memiliki tabungan yang banyak agar bisa menikmati hari tua. Belum lagi kalau kamu menanggung biaya hidup pasangan dan anak-anak kamu nanti.

Solusi yang umum adalah dengan tinggal bersama orang tua. Beruntunglah kalau kamu atau pasangan memiliki orang tua yang tinggal di rumah sendiri dan bukan di rumah kontrakan. Setidaknya kamu bisa menghemat uang gaji sampai setengahnya. Namun, tinggal bersama orang tua tentu menciptakan konflik sendiri.

Jika memutuskan untuk tinggal bersama orang tua atau mertua, berarti kamu harus siap bila privasi kamu dan pasangan terganggu. Status kamu adalah penumpang di rumah orang. Kamu harus mengikuti aturan-aturan tak tertulis dari mertua/orang tua. Bila kamu tidak menyukai aturan-aturan tersebut, maka  bentrokan akan terjadi. Tentu rasanya tidak menyenangkan bermasalah dengan si empunya rumah sekaligus mertua/orang tua.

Solusi cerdasnya adalah dengan menabung dan membeli rumah sendiri. Harga rumah memang mahal, tetapi keuntungannya lebih banyak daripada tinggal di rumah kontrakan atau di rumah mertua.

Selagi kamu belum menanggung biaya hidup pasangan, ini adalah kesempatan terbaik untuk mencari dan menabung uang demi membeli rumah. Tinggal di rumah kontrakan itu bagus selama kamu masih hidup sendiri, tetapi bisa menjadi bencana bila kamu sudah menikah.

3. Apakah Pesta Pernikahan Menjanjikan Kebahagiaan?


via Pexels

Setiap orang yang sudah teracuni oleh film cinta-cintaan dan acara gosip pasti memimpikan pesta pernikahan yang gemerlapan. Tidak hanya itu, mereka juga berharap pesta pernikahannya dihadiri oleh banyak orang. Kalau perlu, undang orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terkenal agar pesta pernikahannya terkesan elit. Banyak yang berpikir bahwa pernikahan yang mewah itu wajib hukumnya karena melambangkan kebahagiaan di masa depan.

Namun, banyak yang peneliti tidak sependapat dengan itu. Dua orang pakar ekonomi dari Emory University, Andrew M. Francis dan Hugo M. Mialon, menulis jurnal penelitian berjudul: “A Diamond is Forever and Other Fairy Tales: The Relationship Between Wedding Expenses and Marriage Duration” yang berisi tentang bagaimana pesta pernikahan yang diadakan dapat menentukan usia rumah tangganya. Mereka berpendapat bahwa pasangan yang mengadakan pesta mewah dan mengeluarkan biaya banyak untuk resepsi pernikahan berpotensi tinggi bercerai ketimbang pasangan yang menikah secara sederhana.  

Beban uang tentu jadi masalah yang utama. Menurut kedua pakar ekonomi tersebut, pasangan yang menikah secara sederhana biasanya adalah pasangan yang mau saling terbuka dan menerima kekurangan satu sama lain. Jadi pasangan tersebut tidak mempermasalahkan apakah pernikahannya harus mewah atau tidak. Selain itu, pernikahan yang sederhana dapat menghindarkan pasangan tersebut dari masalah keuangan yang dapat menyebabkan pertengkaran keluarga di kemudian hari.

Lalu bagaimana pernikahan yang sederhana itu? Pernikahan sederhana adalah pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang-orang yang kamu kenal saja dan tidak perlu mengundang orang-orang yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan kamu selama ini. Tidak perlu mengundang tetangga-tetangga yang tidak pernah bertemu atau mengobrol dengan kamu. Meski terasa tidak enak di hati, tapi itu bisa memotong anggaran sampai setengahnya. Yang paling penting adalah kehadiran dan restu dari orang-orang yang bersama kamu selama ini. Cuma itu.

Lagipula, daripada menghamburkan uang dalam sehari, jauh lebih bagus menggunakan uang tersebut untuk membeli rumah atau berjalan-jalan ke luar negeri bersama pasangan. Liburan bersama pasangan dapat memberikan pengalaman baru, sementara resepsi nikah yang mewah hanya mengenyangkan gengsi semata. Setelah pernikahan mewah itu selesai, maka selesai pula gengsi itu. Kamu harus kembali ke kehidupan yang sebenarnya: tinggal di rumah kontrakan dan membayar utang-utang biaya pernikahan.

Bagaimana? Apa kamu sudah mempertimbangkan keputusan untuk menikahi si dia? Bila kamu bisa menjawab ketiga pertanyaan itu tanpa merasa tegang dan berkeringat dingin, maka saya ucapkan SELAMAT karena kamu sudah siap menjalankan bahtera rumah tangga bersama pasangan kamu!