Rasanya tidak ada kerusakan yang lebih fatal daripada dikhianati oleh orang yang sangat kita cintai. Setiap hari kita dicekoki puluhan berita, kisah fiksi, dan lantunan lagu yang menceritakan kemunduran (kalau bukan kehancuran) hidup seseorang akibat pasangan yang menyalahgunakan kepercayaannya. Itulah yang terjadi pada Kalina, seorang wanita karir yang baru saja diberhentikan karena melakukan kesalahan-kesalahan fatal di perusahaannya, tepat dua bulan setelah sang suami ketahuan berselingkuh dengan sahabat baiknya sendiri.
“Kami sudah menikah delapan tahun, semua keindahan itu terasa tidak ada artinya karena sekarang rasanya sulit sekali mempercayai ucapan dan tindakan suami saya. Dia mengaku menyesal. Dia sudah melakukan banyak hal untuk memperbaiki. Tapi saya seperti selalu mencari-cari tanda bahwa dia sedang melakukannya lagi. Akibatnya saya juga sulit mempercayai pikiran saya dan keputusan saya sendiri, termasuk saat berada di kantor,” jelas Kalina pada sesi pertama konsultasi dengan saya. “Saya banyak melakukan blunder, karena waktu saya habis mempertimbangkan suara-suara yang membisikkan pikiran kedua, pikiran ketiga, pikiran keempat, dst.”
Saya mudah berempati dengan itu, karena saya pernah mengalami hal serupa. Kemungkinan besar Anda juga pernah. Setiap detik, setiap menit, setiap jam Anda dibayangi kekhawatiran apakah si dia sedang melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Pikiran Anda cepat sekali beranak pinak, “Jangan-jangan begini. Mungkin begitu. Bisa juga begini. Atau sepertinya begitu.” Anda seperti kehilangan pegangan, kalang kabut berusaha memperhitungkan segala sesuatu untuk memastikan kejadian yang sama tidak terulang lagi. Dan itu semua sangat melelahkan.
“Saya ingin mempercayainya lagi, tapi saya tidak yakin bisa melakukannya. Dia yang berbuat salah, tapi kenapa saya merasa itu kesalahan saya karena telah mempercayai dia? Mengapa setelah ini semua, justru saya yang merasa begitu bermasalah? Apakah saya akan terus berantakan seperti ini?” demikian keluh Kalina. Saya yakin ini juga menjadi pemikiran Anda dan semua orang yang mengalaminya, karena jelas saya pun pernah terjerembab di relung hati gelap itu.
Perbedaan pengalaman Anda dengan Kalina, ataupun dengan saya, hanyalah di sejumlah detil jalan ceritanya. Kalina sudah menikah dan memiliki seorang anak, Anda mungkin belum. Anda mungkin sudah berpisah dengan sang pengkhianat, tapi kini menyadari betapa sulitnya membuka diri dan mempercayai ketika bertemu orang baru. Kalina berantakan sampai dipecat dari perusahaannya, Anda mungkin tidak sejauh itu tapi tetap mengalami penurunan konsentrasi kerja. Mungkin juga Anda sudah memiliki pasangan baru, tapi masih dibayang-bayangi ketakutan dari hubungan yang lalu. Ada banyak variasi, tapi sumber luka tetap sama: kepercayaan yang disalahgunakan. Berikut saya kutip pengalaman beberapa orang di Twitter tentang kepercayaan dan pengkhianatan:
- “Kayak kesetrum pas nyabut colokan, terus harus nyolokin lagi. Curiga bakal kembali kesetrum.” @sayasimagda
- “Seperti dipaksa makan racun, tapi dibilang obat.” -@indybasyira
- “Kayak pertama jalan setelah kaki luka dan tahap mau sembuh. Nyeri.” -@ciwullan
- “Jadi posesif, karena takut dikhianati lagi.” -@melldut
- “Kalau dikhianatin sampai hancur banget biasanya walau orangnya balik pun, rasanya sudah hilang.” -@sabrinachp
- “Rasanya kayak jalan pakai satu kaki. Bisa sih, tapi sulit.” -@arlinadelas
Saya suka sekali dengan penggambaran @arlindelas. Jalan dengan satu kaki, bisa tapi sulit. Mempercayai lagi setelah terlukai memang perjalanan harian yang harus dilalui dengan sabar dan perlahan, langkah demi langkah. Mempercayai orang yang sama ataupun orang yang baru sebenarnya sama saja, karena pada dasarnya Anda sudah kehilangan kepercayaan pada diri Anda sendiri. Tidak peduli siapa yang Anda percayai -sesempurna apapun dia dan berusaha semaksimal apapun dia- Anda akan tetap sulit melangkah bersamanya jika Anda belum memperbaiki keyakinan diri sendiri.
Jika saya sederhanakan, langkah perbaikan itu bisa dimulai dengan berhenti memusuhi si dia ataupun pengkhianatannya. Saat memusuhi, Anda malah semakin lama tersakiti karena sebenarnya Anda sedang menuding-nuding kesalahan diri sendiri. Batin Anda seolah berteriak kesal, “Ini salahku karena sudah mempercayai dia. Dasar bodoh, dungu, idiot!” Membenci si dia dan kejadiannya membuat Anda jadi membenci keputusan-keputusan yang Anda sudah buat di masa lalu dan akan buat di masa depan. Wajar saja Anda jadi lelah, takut, labil, dan banyak second guessing, karena Anda sedang meragukan dan memusuhi diri Anda sendiri!
Satu fakta yang penting Anda ketahui: negative thoughts is our default brain programming, alias kita dilahirkan dengan kecenderungan untuk berpikir negatif. Selama ribuan tahun evolusi, gen kita otomatis senantiasa mencemaskan hal-hal buruk agar bisa terhindar dari bahaya dan bertahan hidup. Apalagi bila telah dikhianati, pikiran jadi lebih agresif berjaga-jaga, mencurigai keadaan dan orang lain, termasuk mencurigai pemikiran dan keputusan diri sendiri. Seluruh energi Anda habis tersedot untuk mengantisipasi bahaya dari dalam dan luar, akibatnya Anda tidak sanggup lagi mempercayai, boro-boro santai mencintai seperti sebelumnya. Iya ‘kan?
Jadi ambil alih kendali atas otak Anda, jangan biarkan dia terus menakut-nakuti, merongrong diri Anda seperti yang saya gambarkan di awal. Dalam kelas Revolusi Pria dan Revolusi Wanita, saya selalu menjabarkan bagaimana proses percaya diri adalah pangkal dari percaya dia. Nah tugas Anda adalah menemukan kembali ketenangan dan keyakinan diri yang terhilang itu. Terima kejadian pengkhianatan itu, kesalahan dia, serta kesalahan Anda sebagai salah satu kepingan penting yang membuat Anda jadi lebih dewasa, bijak, dan berharga. Berikan sorot cahaya pada pojok ruang hati yang gelap itu, dan Anda akan menemukan banyak sekali harta karun di dalamnya. Genggam semuanya dengan lembut dan tenang, bahkan bangga. Berdamai dengan diri sendiri sepertinya klise, tapi itu adalah salah satu langkah penting awal yang menentukan apakah Anda akan sembuh atau malah lumpuh.
Saya tahu persis kadang itu bukan hal yang mudah dilakukan seorang diri, seperti Kalina yang merasa perlu bantuan profesional. Seolah semuanya kusut memusingkan tidak tahu mau dimulai dari mana, apalagi muncul rasa pedih menusuk di dada setiap kali mengingat kejadian itu. Terserah Anda mau konsultasi sekarang atau melakukannya saja sendiri perlahan-lahan, saya ingin menegaskan bahwa Anda bisa kembali mempercayai orang lain lagi ketika sudah menyadari bahwa diri Anda semakin berharga dibanding sebelumya. Seseorang sudah melukai hati Anda, masakah Anda tega masih mau menambah luka-luka itu dengan mengurung, menyalahkan, dan membenci diri sendiri? Tidakkah Anda merasa berhak untuk kembali mempercayai dan mencintai?
Jika saat ini Anda seperti sedang melangkah dengan satu kaki, bertahanlah. Bukan waktu yang akan menyembuhkan, tapi apa yang Anda lakukan dengan waktu itulah yang bisa membuat Anda kembali bahagia. Arahkan kaki Anda sesuai panduan di atas, dan teruslah melangkah maju. Ya Anda merasa kesakitan, tapi sadari itu bukan penyakit yang fatal melumpuhkan. Untuk setiap langkah yang Anda lakukan, Anda akan terkejut menyadari bahwa ternyata Anda jauh lebih kuat daripada yang Anda duga.