Sebagai seorang perempuan yang berusia 25 tahun, saya sendiri merasakan bagaimana orang-orang di sekeliling saya satu per satu mulai menikah dan memiliki anak. Ya, setelah menjalin relasi yang stabil bersama kekasih, dan umur sudah mencukupi, tentunya kita akan berharap untuk meng-“upgrade” hubungan tersebut menuju jenjang pernikahan.
Namun di usia yang mulai dewasa ini juga, justru mulai banyak pasangan di sekitar saya yang kandas hubungannya, meski sudah berjalan tahunan. Saya termasuk dalam kerumunan itu. Di saat banyak teman saya sudah hidup berkeluarga, saya dan orang-orang lain dalam kerumunan tersebut memilih untuk memutuskan hubungan dan kembali melajang.
Bukan mid-life crisis, bukan. Hanya saja… ah, biar saya sampaikan padamu tiga kisah nyata dari orang di sekitar saya, tentang alasan mereka memutuskan untuk nggak menikah.
Sudah Terlalu Lama Bersama
Delapan tahun yang lalu, saya mengenal Tomy (bukan nama sebenarnya). Ia adalah ketua tim sepak bola di SMA kami, dan saya ketua OSIS ketika itu. Saya masih ingat rasa bangga karena Tomy sangat ganteng dan atletis, dan tentunya memiliki banyak penggemar di sekolah.
Hubungan kami berlangsung menyenangkan dan adem ayem hingga saya menginjak usia siap menikah. Delapan tahun sejak saya mulai berpacaran dengan Tomy. Orang tua kami sudah saling mengenal. Teman kami sudah saling bercampur baur. Jadi ketika membicarakan tentang pernikahan, tentu saja semua orang akan otomatis mengasumsikan bahwa saya akan menikahi Tomy.
Tapi haruskah saya?
Setelah 8 tahun bersama Tomy, ia belum bertumbuh dewasa. Ia nggak menabung untuk masa depan bersama, nggak mau bekerja keras, dan malas menjaga kesehatan. Tomy yang ganteng dan atletis itu kini sudah lusuh dimakan waktu, dan ia nggak berusaha menjadi lebih baik lagi.
Haruskah saya menikahi Tomy hanya karena sudah menghabiskan 8 tahun bersamanya?
Society said yes, but I didn’t care. I quit.
Saya sadar nggak semua pria yang memiliki boyfriend-material, pun memiliki husband-material. Hanya karena saya memilih Tomy 8 tahun yang lalu, bukan berarti saya harus memilih Tomy kembali untuk seumur hidup saya. Memilih seorang partner hidup tentunya harus lebih berhati-hati daripada “sekadar” memilih pacar, bukan?
Sudah Berhubungan Badan
Hubungan saya dengan John (bukan nama sebenarnya) dimulai dengan nggak baik, dan saya sadari itu. Sebetulnya kami berbeda budaya. Ketika saya mendekatinya dan kami memulai hubungan, banyak hal-hal yang biasa baginya, yang nggak sesuai dengan iman saya.
Contohnya, John itu tukang minum dan perokok berat. Ia senang menghabiskan waktu hingga lewat tengah malam di klab, dan terbiasa bangun keesokan paginya dengan mata merah dan sembab karena terlalu banyak minuman keras.
Namun kala itu saya pikir karena “kompromi”, saya pun mengikuti arusnya. Dan tergelincir, lalu tenggelam.
Ketika orang tua tahu saya sudah berhubungan badan dengan John, mereka marah, kalap, panik, dan memaksa John untuk segera menikahi saya. Awalnya saya kira John akan setuju, toh selama ini kami berhubungan baik. Namun suatu malam ketika John tengah mabuk, ia menertawai saya dan orang tua saya, membodohi kami dengan kata-kata kasar, dan mengaku dengan penuh bangga bahwa ia baru saja meniduri dua wanita sekaligus.
Haruskah saya menikahi John hanya karena ia sudah pernah menjamah saya?
My parents said yes, I rebelled. I quit.
Bila mereka kecewa dan sakit hati karena saya sudah najis, saya rela menjadi objek kemarahan mereka. Namun, saya nggak akan membiarkan kemarahan mereka mengharuskan saya menikahi orang yang nggak bertanggung jawab, dan menghabiskan seumur hidup menghormati pria yang nggak mampu menghormati saya.
Sudah Dicerewetin oleh Orang Tua
Perkenalkan, saya Intan (bukan nama sebenarnya), 29 tahun. Sejak putus dari mantan saya beberapa tahun yang lalu, saya belum lagi memiliki pasangan. Namun orang tua sudah panik dan merongrong saya agar segera menikah karena usia sudah hampir 30 tahun. Salah satu bentuk kepanikan mereka adalah dengan memperkenalkan saya kepada Robby (bukan nama sebenarnya), anak dari salah satu teman SMA ibu saya.
Robby memang baik, sukses dan mapan, serta rajin ke gereja. Namun di usianya yang ke 34 tahun saat ini, Robby masih sibuk bekerja dan nggak ada waktu untuk bergaul, apa lagi mendekatkan diri dengan saya. Di saat yang bersamaan, orang tua saya dan orang tua Robby sudah sibuk sendiri mempersiapkan pernikahan kami.
Haruskah saya menikahi Robby yang nggak saya kenal, hanya karena usia saya sudah “deadline”?
My parents said yes, I refused. I quit.
Saya tahu ada beberapa orang yang bisa saja menikahi seseorang tanpa melalui proses berpacaran dulu. Namun saya nggak hidup dengan iman seperti itu. Saya nggak mau mengkhianati keyakinan sendiri hanya demi memenuhi deadline. Saya akan menikahi seseorang karena saya dan dia sudah sama-sama SIAP serta MAU. Bukan hanya karena deadline.
Tiga cerita di atas adalah kisah nyata dari tiga perempuan pemberani yang saya kenal. Mereka yang nggak dibutakan oleh ide indah bernama “pernikahan”, namun juga menimbang-nimbang fakta yang ada. Karena menikah itu mudah, namun mempertahankannya? Itu soal lain.
Bila yang kita kejar adalah pernikahan yang langgeng sampai akhir jaman dan bukan kehebohan pernikahan sesaat belaka, bukankah kita perlu lebih berhati-hati dan berani mengambil keputusan?