“Sayang temenin aku nonton Twilight dong. Mau ya sayang? Pleasee…,” rengek seorang perempuan kepada kekasihnya. Kekasihnya, yang pasrah saja tentu akan menuruti keinginan pasangannya tersebut.
Begitu pula ketika seorang pria ingin mengajak kekasihnya menonton film The Expendables 3, misalnya. Film tersebut menurut perempuan akan terasa membosankan karena berisi peluru, darah berceceran, dan tak ketinggalan bom.
Kalian perhatikan enggak? Film-film yang disajikan di bioskop memiliki pangsa pasar gender masing-masing. Misalnya film romantic ditunjukan untuk penonoton perempuan walau kita enggak memungkiri pria juga menonton film tersebut. Film action, film perang, film thriller, dan film bela diri biasanya ditonton oleh kalangan pria. Karena ada perbedaan pasar tersebut, imaji gender “pasangan ideal” dari masing-masing film tersebut akan jauh berbeda!
Misalnya: bayangkan untuk film romantic film Twillight misalnya, sosok Edward sebagai kekasih idaman memiliki sifat-sifat tertentu seperti bisa bermain piano, penuh dedikasi karena menjaga Bella tidur tiap malam, romantic karena melamar Bella yang berusia 18 tahun untuk menikah, jangan lupa Edward juga bisa baca pikiran.
Sedangkan untuk film action, sosok perempuan sebagai kekasih yang akan digambarkan seperti film Fast and Furious sosok perempuan digambarkan selalu mendukung tanpa banyak mengeluh, perempuannya bisa diandalkan, dan merelakan jika si prianya ternyata punya cerita dengan perempuan lain.
Jeng jeng jeng. Apa kalian sadari? Imaji kekasih dari masing-masing film dengan pangsa pasar yang berbeda ini JAUH BERBEDA. Masing-masing film mengimajinasikan sosok kekasih ideal yang supply dan demandnya tidak bertemu. Pada kenyataannya lelaki dididik untuk bertanggung jawab dan tidak mungkin secara logis pun untuk mengajak menikah pacarnya yang berusia 18 tahun, apalagi pria tersebut bisa baca pikiran.
Sama seperti imaji perempuan ideal yang tidak pernah mengeluh dalam film untuk para pria. Mau mencari sampai ke ujung bumi perempuan yang tidak mengeluh dan tidak cerewet pun mungkin sulit.
Jadi ada ketidaksinambungan harapan perempuan tentang sosok pria yang ideal sebagai kekasih jika perempuan itu menonton film yang sejenis berulang-ulang dengan karakteristik tokoh yang pasti membawa sifat-sifat yang sama juga. Berbayahaya jika imaji itu direfleksikan ke dunia nyata. Sampai kapan pun enggak akan ada pria yang bisa baca pikiran kamu jika kamu tidak bicara apa yang kamu mau.
See? Betapa berbahayanya media. Kamu secara terus menerus dan berulang-ulang, tertanam bahwa pasangan kekasih yang ideal adalah yang seperti dalam film. Akibatnya hubungan kalian jadi penuh drama-drama enggak jelas. Karena kalian menganggap dunia kalian sama seperti film yang kalian tonton (yang impossible itu). Itu baru sebagian kecil dari film popular internasional, enggak kebayang romansa yang ditawarkan dalam sinema lokal ditambah artikel-artikel romansa yang tidak mengajak kalian berpikir seperti Kelas Cinta ini. So everyone, be smart!