Kenapa Penolakan Rasanya Sakit?

Home Articles Kenapa Penolakan Rasanya Sakit?
Share the knowledge!

Masih ingat rasa nyeri di dada ketika ditolak orang yang Anda idamkan? Atau rasa hampa yang menyesakkan ketika pasangan mendadak memutuskan Anda? Atau mungkin rasa teriris ketika si dia berkata, “Maaf, kamu terlalu baik untuk aku!” ?

Saya masih bisa ingat jelas semua rasa sakit itu, salah satunya adalah beberapa tahun yang lalu di kota Bandung. Penolakan terasa seperti seseorang meninju perut bertubi-tubi, sampai saya terjatuh lemah kesakitan dan sesak napas berhari-hari. Sebuah hubungan kandas mendadak, tepat ketika saya sedang menulis buku Dapatkan Cintanya Dibawah 7 Detik. Ironis. :))

Jadi apa yang membuat penolakan, baik diucapkan atau dituliskan, bisa terasa begitu nyata menyakitkan? Mengapa kata-kata yang tidak kasat mata itu mempunyai kekuatan untuk menusuk dada hingga perih, memukul kepala hingga pening, dan membuat ngilu setiap otot, tulang, dan sendi tubuh kita?

Jawabannya sederhana: karena area otak kita yang mencerna penolakan ternyata merupakan area otak yang sama ketika mencerna rasa sakit fisik. Ethan Kross, psikolog sosial dari University of Michigan, menemukan bahwa ketumpahan kopi panas dan ditinggalkan orang yang disayangi adalah dua jenis rasa sakit yang berbeda, namun sama-sama diproses oleh area otak yang bernama somatosensory cortex dan dorsal posterior insula.

Otak kita tidak ingin membedakan antara rasa sakit fisik maupun rasa sakit emosional. Bagi otak, penolakan sama ‘memukulnya’ seperti pukulan fisik ke tubuh Anda. Sialnya lagi adalah kalaupun sedang tidak ditolak, Anda tetap bisa merasakan pukulan sesak itu lagi bila mengingat-ingat penolakan di masa lalu ataupun melihat orang lain yang sedang mengalaminya.

Kebanyakan orang merasakannya penolakan dalam bentuk tekanan nyeri di bagian tubuh atas. Itu ulah hormon cortisol dan adrenaline yang membanjiri tubuh, membuat dada berdebar-debar sesak karena jantung memompa lebih cepat (bahkan kadang jadi tidak teratur), meningkatkan tekanan darah hingga kepala terasa pening dan leher tegang. Sedemikian nyatanya rasa sakit penolakan sosial, sampai ada kondisi medis yang dinamakan Takotsuba Syndrome alias Broken Heart Syndrome yang secara gejala amat sangat menyerupai rasa serangan jantung.

Selain itu, kita juga biasanya merasa lemas, mual, kedinginan, ngilu-ngilu seperti flu. Ini akibat banyaknya cortisol yang menghabiskan sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh Anda jadi lebih lemah terhadap serangan bakteri dan virus. Pada saat yang sama kehadiran hormon tersebut juga mengurangi aliran darah ke sistem pencernaan, sehingga Anda kehilangan nafsu makan dan mengalami gangguan pencernaan lainnya yang membuat Anda makin kehilangan energi dan mempengaruhi seluruh tubuh. Alhasil, penolakan membuat Anda benar-benar merasa tersakiti dan terpukul hancur.

Jika terbiasa berpikir kritis, Anda sekarang akan bertanya seperti ini, “Lalu kenapa sih otak didesain seperti itu? Kenapa penolakan sosial mesti diproses menjadi rasa sakit? Kenapa tidak diproses jadi rasa lain, seperti ngantuk, atau gatal, atau kembung?”

Jawabannya bisa ditelusuri dalam penelitian Naomi Eisenberger di Social and Affective Neuroscience Laboratory. Sebagai mamalia, kita terlahir dengan kemampuan membela diri yang relatif terbatas sehingga kita memerlukan manusia-manusia lain yang menolong dan merawat. Ikatan sosial menjadi kebutuhan yang krusial, karena kesendirian berpotensi menurunkan keberlangsungan hidup. Itu sebabnya dalam proses evolusi, keterpisahan dan penolakan sosial tercetak di otak sebagai rasa sakit agar manusia selalu terdorong untuk memelihara hubungan satu sama lain.

Kajian psikologi evolusi menyatakan bahwa dalam tubuh kita terkandung kode genetik yang berisi pelajaran dan pengalaman nenek moyang manusia ribuan tahun yang lalu. Jadi semua manusia merasakan sakit ketika ditolak atau dipisah, karena ribuan tahun yang lalu keterpisahan akan membuat manusia jadi lebih tidak berdaya menghadapi ancaman alam. Otak membuat penolakan terasa sakit supaya Anda dan saya jadi lebih menghargai hubungan sosial dan lebih termotivasi mengusahakan kebersamaan.

Bayangkan apa yang terjadi jika otak memproses penolakan dan perpisahan sebagai rasa ngantuk, gatal, kembung, atau lainnya? Kita pasti jadi biasa saja dengan penolakan, tidak menakutinya, bahkan cenderung masa bodo sehingga tidak merasa perlu untuk berhubungan.

Penolakan harus dibuat (sebagai ganjaran yang) menyakitkan agar kita mau berusaha keras untuk menciptakan penerimaan dan menjaga keharmonisan. Otak Anda tidak memberikan rasa sakit dari penolakan supaya Anda jadi trauma, takut jatuh cinta, dan enggan menjalin hubungan cinta. Justru sebaliknya, otak menggunakan penolakan untuk memotivasi perbaikan diri, sama seperti rasa lapar memotivasi Anda untuk makan.

“Tapi Lex, penolakan itu sakitnya keterlaluan. Kalau mau memotivasi, ga perlu sampe sesakit itu lah karena begitu malah bikin jadi trauma!” mungkin begitu jerit keluh Anda.

Ah, tenang sobat, tenang. Coba pikirkan ini sejenak. Saat tangan berdarah karena tertusuk pisau dan Anda otomatis meringis kesakitan, sadarlah bahwa intensitas rasa sakit itu dipengaruhi oleh dua hal: seberapa parah lukanya dan apa yang Anda lakukan terhadapnya. Betul ‘kan?

Demikian juga dengan rasa sakit dari penolakan. Menurut saya, lima puluh persen rasa sakit itu memang bersumber dari penolakannya, tapi lima puluh persen sisanya bersumber dari kepanikan, kekeliruan, dan kekonyolan yang kita lakukan saat berusaha menanggulanginya. Itulah yang saya bahas dalam sesi konsultasi dengan memanfaatkan referensi penelitian Roy Baumeister dari Case Western Reserve University. Jika Anda butuh bantuan, klik saja tautan konsultasi ini.

Penolakan bisa mengacaukan sistem kontrol seseorang, menurunkan IQ hingga 25%, menurunkan kemampuan berlogika hingga 30%, serta meningkatkan potensi akan kekerasan dan agresi yang merusak. “These are very big effects, the biggest I’ve got in 25 years of research,” kata Roy, “This tells us a lot about human nature: people really seem designed to get along with others, and when you’re excluded, this has significant effects.

Jadi seberapapun tinggi rasa sakit yang saya rasakan beberapa tahun lalu di Bandung itu, lima puluh persennya disebabkan saya terbawa suasana dan memperparah rasa sakit yang ada. Demikian juga dengan rasa sakit yang Anda alami. Ingat-ingat pengalaman Anda, pasti pernah melakukan kekonyolan yang membuat rasa sakitnya semakin parah, seperti mengemis-ngemis minta dikasihani, mengancam hal negatif, ataupun melakukan stalking secara kontinyu. Penolakan membuat kita seketika jadi cukup bodoh untuk melakukan hal-hal yang lebih menyakitkan.

Padahal sebenarnya otak bukan cuma memberi rasa sakit, tapi juga punya standard operating procedure untuk melepaskan senyama opioid untuk berangsur-angsur mengurangi rasa sakit. David T. Hsu dari National Institutes of Health menemukan bahwa senyawa opioid yang sudah diketahui bermanfaat menenangkan binatang saat mengalami tekanan sosial ternyata juga memberikan efek serupa pada otak manusia yang mengalami penolakan sosial.

Sesakit-sakitnya penolakan, otak Anda sudah memiliki sistemnya sendiri untuk memperbaiki asalkan Anda tidak sibuk memperparah keadaan. Bukan saja Anda memiliki kendali atas rasa sakit yang terjadi, tubuh Anda juga sudah terprogram untuk memulihkan diri dari rasa sakit. Justru itulah tujuan saya mengedukasi Anda tentang realita penolakan ini, yaitu supaya Anda jadi merasa lebih siap dan mampu melewatinya ketika sengat berbisa itu muncul. Apalagi jika Anda ingat data-data tentang efek hormonal yang sudah saya jelaskan di atas, semua rasa sakit penolakan itu jelas akan memudar jika Anda mau merawat diri!

Saya sudah pernah melewatinya dan saya akan terus melewatinya ribuan kali lagi sepanjang hidup ini. Demikian juga dengan Anda. Sama seperti saya yang akhirnya bisa selesai menulis buku Dapatkan Cintanya Dibawah 7 Detik itu, dan Anda akhirnya akan membaca dan mempraktekkannya untuk kembali berbahagia.

Untuk sekarang, bertahanlah sobat.. :)

Share the knowledge!