Saat tubuh terasa terganggu, kita tidak enggan pergi ke dokter, atau setidaknya minum obat ringan dulu. Jika beberapa hari tidak ada perbaikan, barulah kita berkonsultasi di klinik terdekat. Namun jika gangguan terjadi dalam hubungan, kita seringkali merasa mampu mengatasinya sendiri. Kita selalu merasa mampu mengatasi ketidakpuasan, hambatan komunikasi, ketidakstabilan emosi, konflik berberkelanjutan, kejenuhan, perselingkuhan, dsb.
Kadang itu benar sih, tapi kadang juga kita salah total sehingga memperparah keadaan. Itulah fakta menyedihkan yang saya selalu temui: orang baru mau cari bantuan konsultasi profesional setelah masalahnya kompleks, kadang sudah terlanjur berdarah-darah, dan sangat sulit diperbaiki.
John Gotmann, seorang psikolog pernikahan, menemukan rata-rata pasangan suami istri menunda hingga 6 tahun sebelum akhirnya minta bantuan profesional dalam hubungan mereka. Bayangkan rasanya mengalami masalah yang sama dalam hubungan, dan makin lama makin parah, selama enam tahun.
Jika sulit, bayangkan ini saja: bagaimana rasanya jika Anda menyimpan flu dan batuk tanpa henti selama enam tahun. Apa yang terjadi pada penyakit itu jika Anda menunda sekian lama? Apakah Anda masih bahagia? Apakah kesibukan dan karir Anda lancar? Dan kalaupun akhirnya datang ke klinik, apakah dokter masih bisa menyembuhkan Anda seperti sebelumnya?
Seperti tertera di judul, saya akan jelaskan tiga indikator bahwa masalah dalam hubungan Anda sudah butuh bantuan orang lain. Tapi sebelumnya saya mau bahas alasan-alasan umum mengapa orang menyepelekan dan menunda konsultasi.
Alasan pertama adalah pemikiran, “Saya ga butuh konsultasi karena saya mengerti apa yang terjadi dan apa yang mesti dilakukan!” Ini biasanya diucapkan orang yang sering membaca buku self help. Jujur saya punya perasaan yang campur aduk tentang buku-buku psikologi populer, karena mereka memang berisi informasi berguna, tapi di sisi lain informasi tersebut seringkali simplistik dan generalisasi. Misalnya, walau positive thinking itu penting, tapi konflik dengan pasangan tidak bisa semena-mena diselesaikan dengan menarik nafas dalam-dalam dan ber-positive thinking.
Contoh yang sering terjadi adalah pasangan muda yang punya pemikiran berbeda tentang suatu hal. Sebenarnya keduanya tahu bagaimana memperbaiki keadaan, tapi mereka tidak bisa bekerjasama menyatukan pikiran sebagai tim. Masing-masing pihak keras kepala merasa dirinya paling tahu apa masalahnya dan menganggap pihak seberangnya salah.
Percayalah, kebebalan akan terus berkelanjutan, bahkan sampai akhirnya nyaris bubar pisah, masing-masing merasa masih bisa mengatasi. Itu sebabnya, menurut penelitian Gottman, masih kurang dari 5% pasangan yang melakukan konsultasi sebelum memutuskan bercerai.
Alasan kedua, yang terkait alasan pertama di atas, adalah pemikiran, “Saya ga butuh konsultasi, karena yang butuh konsultasi sebenarnya adalah pasangan saya!” Anda keliru sekali jika beramsumsi masalah dalam hubungan adalah masalah satu orang saja. Mungkin saja Anda bukan pemicu masalah, namun di sepanjang hubungan itu Anda pasti berkontribusi dalam perilaku dan keputusan sehingga pasangan atau sumber masalah jadi berlarut-larut.
Dalam istilah psikologi, Anda disebut sebagai enabler, dari kata enable yang berarti memungkinkan, mengijinkan, atau membantu. Contoh: pasangan cemburu dan posesif, Anda bisa disebut enabler jika Anda terbiasa menyerahkan semua akses handphone, e-mail, dan social media padanya. Contoh lain: saat pasangan berkata-kata keras dan tajam, Anda adalah enabler jika sering diam saja, mengalah, dan meminta maaf.
Kalau ada satu fakta universal yang saya temukan sendiri selama 10 tahun sebagai seorang relationship coach, bunyinya begini: hubungan cinta berangsur-angsur jadi ribet bermasalah, karena kedua orangnya selalu tenggelam dan membawa masalahnya sendiri. Artinya Anda dan pasangan saling bergantian menyodorkan masalah masing-masing, serta bergantian juga jadi pihak enabler.
Ingat-ingat deh kejadian Anda merasa tidak tega, mengalah, memaklumi perilaku buruk pasangan. Anda bersikap begitu karena berpikir nanti pela-pelan Anda akan menemukan cara untuk memperbaikinya. Kenyataannya, justru masalah semakin menjadi-jadi. Jadi sesungguhnya banyak hubungan berantakan bukan disebabkan oleh kegilaan kegilaan atau kebodohan, tapi karena hilangnya obyektivitas dan ketegasan mengatasi masalah. Semakin menunda konsultasi, semakin Anda dan pasangan saling enabling satu sama lain.
Alasan tipikal ketiga kenapa orang menghindari konsultasi adalah, “Saya takut tidak mampu, alias takut mahal biayanya.” Di negara maju, penyedia jasa asuransi biasanya mengakomodasi pembiayaan konsultasi profesional. Kalau saya tidak salah ingat di Indonesia hanya Jamsostek dan ASKES yang menanggung biaya untuk psikiater, namun tidak untuk psikolog atau konsultan jenis lainnya. Pemikiran ini memang ada benarnya, tapi bukan berarti tidak ada jalan keluarnya.
Banyak konsultan memiliki misi sosial pro bono, menyediakan sliding scale fee, ataupun sistem negosiasi lainnya. Jadi tidak perlu lama mengkhawatirkan biaya, hubungi saja dulu ke banyak konsultan untuk bertanya-tanya tentang program mereka. Ingat bahwa semakin Anda menunda, gangguan bisa jadi semakin kompleks sehingga semakin besar pula biaya emosional yang Anda alami dan biaya penanganan yang harus ditangani.
Alasan tipikal terakhir adalah pemikiran, “Ngapain sampe konsultasi? Emangnya ini udah parah banget? Emangnya saya orang gila/lemah/cacat?” Berkat penggambaran di film-film, banyak orang berpikir bahwa psikolog, psikiater, dan berbagai profesi coach dan konsultan lainnya adalah layanan untuk orang bermasalah; artinya jika pergi konsultasi, seseorang mengakui dirinya bermasalah. Wajar saja orang jadi malu dan enggan, cepat menepis anjuran berkonsultasi; apalagi pria yang biasanya terluka egonya jika minta bantuan orang lain.
Pergi ke dokter tidak berarti Anda punya penyakit fatal, demikian juga pergi konsultasi sama sekali tidak berarti Anda gila. Justru berkonsultasi adalah langkah orang cerdas yang ingin meminimalisir gangguan agar hidup lebih bahagia.
Bayangkan analogi ini: konsultasi hubungan itu seperti pergi ke bengkel mobil atau motor. Apakah Anda bodoh sampai perlu bantuan seorang teknisi profesional memperbaiki kendaraan kesayangan Anda? Apakah teknisi itu otomatis menilai Anda payah bermasalah jika kendaraan Anda mengalami gangguan? Apakah Anda gila atau cacat jika ingin memastikan kendaraan Anda kembali berjalan mulus dan indah seperti seharusnya? Tidak ke bengkel tidak apa-apa sih, Anda biasanya tetap bisa jalan dengan kendaraan itu kok.. sampai akhirnya sudah rusak hancur total. Harus malukah Anda jika pergi ke bengkel demi bisa menghindari kerugian itu?
Sepanjang melayani konsultasi, saya sering menemukan alasan-alasan itu terselip dalam kepala banyak orang. Tanpa disadari, mereka membiarkan masa lajangnya, pacarannya, dan pernikahannya terus terseok-seok berantakan.
Lalu bagaimana cara agar Anda tidak termasuk ke dalam orang-orang itu? Darimana Anda tahu bahwa hubungan Anda sudah membutuhkan bantuan profesional? Berikut adalah tiga pertanyaan penting yang perlu Anda dan pasangan renungkan dengan baik.
“Apakah kualitas hubungan Anda terasa menurun?”
Cara paling sederhana adalah memberi rating kualitas kebahagiaan atau keharmonisan saat ini dibanding masa-masa sebelumnya. Jika menurun, berarti ada gangguan yang tidak teratasi. Jangan bandingkan diri dengan orang-orang lain, tapi bandingkan dengan masa lalu Anda dan pasangan sendiri. Mungkin Anda menyadari apa gangguannya, mungkin juga tidak. Kita tidak bisa selalu tahu persis duri apa yang tertanam di dalam daging, tapi kita selalu bisa merasakan efek negatifnya: penurunan kualitas hidup seperti merasa lemah, sering khawatir, tidak dimengerti, kurang produktif, lelah, sulit berkonsentrasi, putus asa, mudah terpancing emosi, kebingungan, sulit istirahat, dsb.
“Apakah Anda sendirian mengatasi gangguan-gangguan yang ada?”
Sendirian punya banyak makna: bisa jadi salah satu pihak saja yang terganggu, bisa juga cuma Anda dan pasangan yang menyimpan gangguan itu tanpa diketahui orang lain, atau bisa juga sahabat dan keluarga sudah tahu namun mereka sulit membantu. Rasa kesendirian dan tidak dimengerti tidak cuma membuat Anda cepat lelah menghadapi gangguan, tapi juga melipatgandakan rasa gangguan itu sendiri. Mengutip film The Voices, “Being alone in the world is the root of all suffering.”
“Apakah Anda sulit meningkatkan kualitas hubungan dalam 1-2 bulan terakhir?”
Cek usaha-usaha apa saja yang sudah Anda atau pasangan lakukan untuk meningkatkannya. Banyak pasangan sudah berkali-kali berusaha memperbaiki, tapi tidak ada peningkatan yang berarti. Segudang janji dan rencana sudah didiskusikan, tapi berhenti sebatas wacana saja. Anda merasa berada dalam labirin gelap yang entah di mana jalan keluarnya.
Karena sedemikian rumit, banyak orang berhenti berusaha memperbaiki hubungan dan jadi sibuk mencari kesibukan lain demi melipur lara dan mengalihkan perhatian. Hubungan dibiarkan meluncur bebas begitu saja, ibaratnya jalan masing-masing. Gottman, seorang peneliti pernikahan, menulis dalam bukunya demikian, “Some people leave a marriage literally, by divorcing. Others do so by leading parallel lives together.”
Jujurlah pada diri sendiri. Jika Anda cenderung berbisik lirih ‘Ya’ untuk ketiga pertanyaan di atas, Anda perlu sesegera mungkin menghubungi saya atau konsultan profesional lainnya. Alasan saya dorong segera konsultasi adalah agar masalahnya belum bertele-tele dan merusak terlalu jauh. Cari bantuan sedini mungkin, supaya Anda dan pasangan masih punya banyak energi, cara, dan kesempatan untuk perbaikan.
Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi para konsultan, dokter, dan praktisi kesehatan adalah jika kami harus menawarkan pilihan-pilihan yang kurang menyenangkan karena kondisinya sudah terlalu pelik.
Saya tutup artikel ini dengan menegaskan bahwa hubungan memang wajar diwarnai berbagai gangguan, baik sederhana maupun kompleks. Mencari bantuan konsultan tidak menunjukkan Anda bodoh, lemah, dan cengeng seperti anak kecil. Justru sebaliknya, konsultasi bagaikan teriakan kemenangan yang membuktikan bahwa Anda lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih besar daripada gangguan-gangguan yang ada.
Apapun status hubungan Anda, pacaran ataupun menikah, keharmonisan adalah hal yang harus diusahakan, tidak bisa otomatis kejadian.
Apakah Anda bersedia berusaha? Hubungi saya jika Anda sudah siap untuk memperbaiki dan mengharmoniskan kehidupan.