Cinta Adalah Hasil Investasi

Home Articles Cinta Adalah Hasil Investasi
Share the knowledge!

Prinsip Cinta Adalah hasil investasi ini akan terasa mengejutkan, tapi dijamin perlahan membuka mata selebar-lebarnya dan menyelamatkan Anda dari kekeliruan (bahkan kecelakaan!) dalam hubungan cinta.

Sebelum saya jelaskan, simak curhatan teman saya bernama Angela berikut ini:

“Aku sudah melakukan segalanya buat pasangan. Sejak awal aku tipe orang yang enggak pelit, perhitungan, selalu lakuin apa saja agar dia bahagia; apalagi kita memang serius target nikah tahun depan. Selama ini hubungan kita baik, tidak ada konflik, tau-tau dia bilang perasaannya makin lama makin hilang dan datar. Aku bilang aku mau berubah dan perbaikan, tapi dia bilang tidak cinta lagi, maunya pisah dan berteman saja. Aku sudah kasih semua cintaku padanya, kok dia bisa-bisanya ngaku tidak cinta?”

Bagaimana respon Anda bila seorang sahabat berkeluh kesah menceritakan hal itu? 

Selain berempati dan memberi dukungan emosional, penjelasan apa yang akan Anda beri untuk mengurai kebingungan Angela?

Kemungkinan besar Anda akan menggunakan salah satu (atau kombinasi) dari tiga perspektif berikut:

  • “Kayaknya dia lagi jenuh dalam hubungan, itu biasa kok. Jangan khawatir, pasti akan berlalu. Kamu terusin saja, setia nyayangin sama dia, ikutin kemauan dia supaya makin nyaman dan senang. Trus ajak juga dia liburan, karena itu bikin hubungan jadi fresh. Nanti cintanya akan tumbuh lagi kok seiring waktu.”
  • “Tiap orang ada bahasa cintanya masing-masing, jadi kemungkinan besar dia tidak merasakan cinta karena kamu tidak menggunakan bahasa cinta dia. Misalnya, bahasa cinta aku itu waktu, jadi aku kurang berasa cinta atau pun spesial kalau pasangan aku kasih banyak hadiah dan sentuhan. Kalau dia luangin waktunya buat aku, baru deh aku merasa cinta banget. Jadi siapa tahu kamu salah kasih ke dia. Tanya bahasa cinta dia apa, lalu kasih itu semua ke dia.”
  • “Siapa tahu dia lagi stres atau ada emosi terpendam dalam hubungan kalian. Kita mesti sabar saja, jangan marah-marah, jangan menuntut juga. Cinta itu sabar, cinta itu pengertian, cinta itu pengorbanan. Justru di saat dia merasa hampa dan tertekan beginilah kamu tunjukin pengorbanan dan keseriusan kamu sebesar-besarnya agar dia jadi sadar akan cinta kamu. Evaluasi diri, ingat-ingat kesalahan yang pernah kamu lakukan. Minta maaf dan perbaiki. Kalau kamu tulus lakuin itu, hatinya pasti akan tersentuh.”

Masih ada banyak varian penjelasan bijak lainnya. Di atas hanya tiga jawaban yang terpopuler dijelaskan orang. Bahkan saya sendiri pun memakai penjelasan itu, sebelum memahami prinsip Cinta Hasil Investasi.

Saya akui, ketiganya mengandung kebenaran yang menyejukkan hati dan berpotensi menyelesaikan kemelut hubungan tersebut. Namun, saya harus akui mereka juga berpotensi memperparah keadaan: pasangannya bisa semakin tidak kehilangan perasaan cinta, dan keukeuh teryakinkan untuk menyudahi hubungan.

Berdasarkan pengalaman saya, justru konklusi kelam itulah yang lebih sering terjadi dibanding hubungan jadi membaik.

Ketika hubungan sedang bermasalah, semakin Anda berusaha memperbaiki diri dan menyenangkan hati pasangan, biasanya semakin dia jadi terasa berjarak dan dingin.

Semakin Anda banting tulang mengubah diri demi mengikuti semua keinginannya, semakin dia terlihat kehilangan minat pada Anda ataupun hubungan itu.

Semakin Anda gigih memaksakan diri memberikan segalanya, semakin dia tidak menghargainya.. bahkan dia bisa terlihat terganggu, terbebani, dan tidak segan-segan mengaku tidak cinta lagi.

Miris yah.

Anda Pernah Mengalami Itu?

Saya yakin pasti pernah, mungkin malah terjadi beberapa kali. Saya pun pernah. Berkali-kali. Tidak terhitung jumlahnya. Setiap kali berada dalam keadaan demikian, kita berpikir kegigihan dan pengorbanan kita akan membuat orang jadi mau mencintai kita.

Walau kemudian terbukti salah, kita tetap tidak mau melepas pemikiran tersebut. Tidak heran demikian, karena umumnya kita terdidik (baca: tercuci otak) untuk meyakini bahwa kita akan dicintai bila kita mencintai terlebih dahulu. Seseorang akan membalas cinta apabila kita tulus serta rajin ‘menyirami’ dia dengan berbagai ekspresi cinta.

Itu sebabnya, saat tertarik pada seseorang, insting kita otomatis berlomba-lomba menyerahkan segenap mind, body, and soul kepadanya.

Berilah, maka kita akan diberi.
Cintailah, maka kita akan dicintai.

Demikian adage yang kita telan mentah-mentah sejak kecil, radikal percayai, dan terus propagandakan di sepanjang usia dewasa. Saya juga percaya demikian, dan kebingungan ketika realitanya tidak berjalan persis yang diklaim oleh keyakinan tersebut.

Sampai suatu ketika di awal 2006, mata saya mulai terbuka menemukan sebuah angle baru: semakin seseorang bekerja keras mengekspresikan perasaannya, semakin perasaan itu menguat dan cinta tumbuh. Itu memang sesuai dengan prinsipnya, tapi pada saat yang sama juga keliru: cintanya tidak tumbuh di hati orang lain, tapi tumbuh di hati sendiri.

Jika kita yang memberi, maka kita yang akan jadi mencintai. Semakin kita memberi, semakin kita merasakan cinta itu bergejolak makin kuat di dada. Apakah orang yang menerima pemberian dan ekspresi cinta kita itu merasakan hal serupa pada kita?

Jawabannya ya, jika dan hanya jika dia juga memberikan sesuatu dari dirinya pada kita.Ketika Anda seorang yang bekerja merawat hubungan, perasaan Anda bertumbuh.

Ketika Anda mempedulikan dia, perasaan Anda bertumbuh. Ketika Anda memperbaiki kesalahan, perasaan Anda bertumbuh. Ketika Anda mengorbankan kepentingan diri demi kesenangan dia, perasaan Anda bertumbuh.

Apakah perasaan pasangan bertumbuh?

Apakah dia merasa cinta?

Mungkin saja, tapi jika Anda sudah terlanjur mengerjakan segala sesuatu sehingga dia bisa santai diam saja tak perlu melakukan apa-apa lagi, perasaannya tidak akan bertumbuh banyak. Cintanya tetap begitu-begitu saja, kerdil, malah biasanya makin lama makin mengecil.

Mencintai adalah kata kerja, dan perasaan cinta adalah hasil investasi (dari berbagai pekerjaan tersebut).

Masuk akal kan?

Itu adalah terobosan orisinal sekaligus ciri khas yang saya gaungkan di Kelas Cinta¹. Saat itu, saya merasa sakit seperti tertampar sekaligus berdebar-debar karena tercerahkan, persis yang Anda alami sekarang saat membaca paragraf di atas.

Sebuah Perspektif Baru Tentang Cinta

Untuk lebih memahami ini dalam relasi cinta dan rumah tangga, mari kita menelusuri perjalanan dari masa-masa awalnya alias PDKT.

Saat tertarik seseorang, kita otomatis tergerak lakukan sejumlah upaya pendekatan. Kita memberanikan diri ajak ngobrol, makan bareng, jalan-jalan, dan berbagai kegiatan berdua lainnya. Bila sedang tidak bersamanya, kita pun banyak memikirkan (dan membicarakan tentang) dia.

Tanpa sadar, kita jadi ‘agresif’ bergerak mencari sebanyak mungkin informasi tentang preferensi serta latar belakang dia agar bisa dekat dan mendapatkan hatinya.

Di awal itu, kita merasa jatuh cinta, tapi sesungguhnya tidak ada cinta pada jatuh cinta. Yang ada hanyalah merasa penasaran, terpesona, tertarik, dan terdorong mengenal lebih dekat. Perasaan-perasaan itu perlahan baru membesar bertumbuh jadi nyaman, kasmaran, cinta, sayang, dan sebagainya seiring dengan upaya-upaya kita mendekati dan mengetuk hatinya.

Sebelum lanjut, saya ingin Anda menonton cuplikan video yang terkait pertumbuhan perasaan pada masa PDKT:

Masuk akal? 😊

Oke, mari fast forward ke masa menjalin hubungan.

Umumnya kita terus mengeluarkan lebih banyak sumber daya untuk pasangan. Sumber daya yang saya maksud adalah waktu, tenaga, uang, apa pun yang kita miliki.

Istilahnya, kita menyetorkan hal-hal yang berharga dalam diri kita kepadanya. Semakin konsisten kita melakukan hal tersebut, semakin besar pula perasaan kita padanya.

Semakin kita banyak berusaha, semakin terasa menggebu-gebu perasaan kita. Kita merasa baper alias terbawa perasaan². Kita merasa sangat, sangat menyukainya. Bahkan kadang sampai merasa cinta dan teryakinkan dialah belahan jiwa yang dicari-cari selama ini.

Kita (berangsur-angsur) merasa (makin) cinta pada seseorang karena (alam bawah sadar kita) menyadari dia kini memiliki berbagai sumber daya kita. Dia jadi terasa sangat berharga karena dia memang ‘menyimpan’ segudang keberhargaan diri kita.

Kita memiliki rasa kelekatan yang luar biasa besar padanya karena kita telah sekian lama menginvestasikan sebegitu banyak kepingan diri kita dalam dirinya.

Seiring perjalanan, apa pun yang kita miliki berangsur tertanam dan menetap di dia. Tidak heran kita tanpa sadar jadi berusaha keras mempertahankannya. Itu sebabnya semakin lama usia hubungan, semakin banyak investasi yang ditanam, semakin kuat dan stabil ikatannya.³

Jika digambarkan ala-ala matematika, mungkin seperti inilah perumusan kadar cinta⁴: CINTA = JATUH CINTA + USAHA 1 + USAHA 2 + USAHA 3 + USAHA 4 + dan seterusnya

Itu sebabnya saat pertama kali terpikir perspektif di atas, saya menyebutnya Law of Compounding Actions (LoCA), alias Hukum Aksi Yang Bertumpuk. Intensitas perasaan cinta kita berbanding lurus dengan frekuensi tindakan yang kita berikan. Semakin banyak kita melakukan tindakan kepada target afeksi, semakin bertumpuk efek perasaan yang tumbuh di dalam diri kita.

Hukum tersebut sangat menjelaskan kenapa kita bisa tergila-gila mencintai seseorang semasa PDKT walau orang itu belum membalas cinta kita. Boro-boro membalas perasaan, orang itu bahkan belum tahu kita hidup di dunia ini saja (alias kita adalah secret admirer-nya), tapi kita sudah sangat terbakar oleh cinta di dalam hati sendiri.

Berdasarkan LoCA itu, saya menganalisa kasus-kasus pacaran dan rumah tangga, menilik pengalaman pribadi dan mewawancarai banyak orang yang mengaku perasaan cintanya pudar. Saya juga bertemu orang-orang yang pernah berselingkuh dan menginvestigasi bagaimana kisah cinta terlarang itu akhirnya berbunga.

Semua pengamatan informal itu ternyata mengkonfirmasi: orang-orang yang cintanya pudar itu mengaku perlahan mengurangi tindakan menyenangkan pada pasangan, bahkan tanpa sadar memindahkan tindakan-tindakan itu pada orang lain (alias terjadi selingkuh).

Proses pengurangan (dan pemindahan) investasi diri tersebut seringkali terjadi tanpa sadar. Bahkan seringkali kita berpikir pudarnya perasaan cintalah yang menyebabkan kita mengurangi sikap baik. Tapi realita, justru sebaliknya: kita perlahan mengurangi investasi, makanya perasaan cintanya pun perlahan memudar.

Walau istilah LoCA itu unik, keren, dan terkesan intriguing, saya akui itu sulit dimengerti. Itu sebabnya perlahan saya menggantinya jadi kata yang lebih sederhana: cinta adalah hasil investasi sumber daya, atau disingkat cinta adalah investasi. Sekali mendengar saja, orang bisa langsung mengira-ngira maksudnya, apalagi setelah dijelaskan seperti di atas.

Prinsip cinta adalah investasi tersebut bisa menjelaskan proses timbulnya cinta dari yang awalnya hanya kenyamanan dalam pertemanan. Prinsip itu bisa menjelaskan proses hilangnya cinta dan hancurnya hubungan setelah pacaran dan berumah tangga.

Prinsip tersebut juga bisa sangat menjelaskan kenapa seseorang bertahan dalam abusive/toxic relationship: umumnya pihak yang abusive sudah sekian lama berkurang (atau berhenti) menumpuk kebaikan dalam hubungan, sehingga pihak korbanlah yang harus sendirian bekerja 2-3 kali lipat lebih banyak demi merawat hubungan.

Sekalipun pihak korban sadar pasangannya tidak mencintai seperti dulu, dia merasa semakin terikat mencintai hidup dan mati pada pasangannya yang kerap menyakiti itu.

“Ya mungkin inilah artinya cinta sejati,” ucap lirih seorang teman yang sejak menikah satu setengah tahun lalu sudah diselingkuhi empat kali oleh suaminya. “Aku tahu dia sebenarnya bukan orang yang jahat, makanya perasaan cintaku tidak pernah berubah. Justru inilah bukti cinta sejati, semakin lama semakin kuat.”

Orang-orang yang terjerat dalam toxic relationship seringkali menilai ketidakberdayaannya itu sebagai bukti cinta (atau bahkan jodoh) sejati. Anda yang sudah mengerti perspektif baru ini tahu bahwa sebenarnya tidak demikian.

Berbagai Studi yang Mendukung

Ini adalah bagian yang membosankan, jadi jika Anda bukan geek atau nerd, silakan lompati saja bagian ini, langsung ke bagian berikutnya. 😄

Dalam kajian ilmu komunikasi dan psikologi sosial⁵, saya menemukan ide yang sejalan dengan prinsip Cinta Adalah Hasil Investasi dalam Affection Exchange Theory. Seseorang yang proaktif (alias tanda diminta) memberi perhatian dan kepedulian akan merasa bahagia atau positif⁶, dan juga merasa lebih lengket alias berkomitmen pada objek yang menerimanya⁷.

Seseorang yang telah memberi akan jadi lebih terdorong “… to commit to an endeavor after a prior investment of time, money, or effort. ⁸ Bila diterjemahkan secara bebas, kita jadi lebih berkomitmen pada sesuatu karena kita sudah merawatnya.

Pada tahun 1998, Rusbult mengembangkan Investment Model⁹ dalam kajian Social Exchange Theory yang menyatakan investasi intrinsik (berupa waktu, uang, atau tenaga) dianggap sebagai sunk cost. Setelah berbagai sumber daya itu ditanamkan pada seseorang atau sebuah hubungan, maka mereka tidak dapat ditarik lagi.

Itu sebabnya kadar investasi diri akan meningkatkan komitmen diri, atau dalam bahasa sehari-hari perasaan cinta dan sayang.

Pemodelan efek investasi ini berlaku dalam banyak aspek, seperti komitmen dalam hal noninterpersonal (seperti hobi, keterlibatan acara, pandangan politik) dan komitmen dalam hubungan interpersonal (seperti persahabatan, rumah tangga, hubungan yang abusive, dan sebagainya).

Investment refers to the magnitude and importance of the resources that are attached to a relationship; resources that would decline in value or be lost if the relationship were to end. Commitment level is defined as intent to persist in a relationship, including long-term orientation toward the involvement as well as feelings of psychological attachment.”¹⁰

Berhubung manusia memiliki sistem kesadaran yang sangat kompleks, tentu bukan investasi diri saja yang mempengaruhi kadar cinta (atau attachment alias kelekatan) dan komitmen kita pada seseorang. Masih ada dua items lainnya; tingkat kepuasan (dalam hubungan itu) dan kualitas alternatif (yang tersedia di luar hubungan), yang akan saya bahas dalam artikel terpisah.

Selain tiga hal itu, ada berbagai faktor lain seperti proximity, sikap resiprokal, respons positif, keserupaan minat, neurochemisty, dan sebagainya. Seluruh items itu menunjukkan korelasi, bukannya kausalitas. Tapi saya pribadi yakin investasi adalah salah satu faktor besar yang sangat menentukan kadar rasa sayang, cinta, lekat pada seseorang.

Saya bisa mengutip beberapa literatur studi lainnya yang mendukung premis cinta adalah investasi ini, tapi izinkan saya berhenti membahas teori-teori tersebut, karena kemungkinan besar bagi Anda itu semua terasa membosankan. 😄

Di Mana Hartamu Berada, Di Situ Hatimu Berada

Oke, lupakan eksplorasi konseptual cinta di dunia akademis, mari kita kembali lagi hubungan cinta di dunia nyata.

Anda kini paham bagaimana kita semakin (terikat) cinta pada pasangan setelah kita memberi perhatian, memprioritaskan, menepati janji, mempedulikan, menolong, menuruti tanggung jawab, melakukan pengorbanan, dan seterusnya untuknya.

Semakin konsisten memberi hal-hal tersebut, semakin kita merasa melekat (baca: cinta) pada dia.

Dengan menyalurkan sumber daya hidup kita pada obyek afeksi, semakin bertambahlah nilai obyek tersebut di mata kita. Alhasil, (hati) kita merasa terikat mementingkannya, termasuk ingin terus merawatnya agar tidak rusak atau hilang dan rugi kehilangan.

Itu sebabnya, ada banyak sekali wanita bertahan dengan pasangan/hubungan yang abusive¹¹.

Jika ditanya, mereka mengaku merasa cinta setengah mati. Alasan sebenarnya adalah karena mereka sudah menyumbangkan begitu banyak resources pada pasangannya itu, sehingga nilainya tinggi sekali.

Mereka sebegitu mengagungkan pasangannya, dan merasa dirinya sendiri sudah kehabisan nilai dan tidak punya apa-apa lagi karena semuanya sudah di ‘tangan’ pasangannya itu. Mereka sadar tidak bahagia, tidak puas, banyak kecewa dan sakit jiwa juga tubuh sana-sini. Tapi, mereka entah kenapa tetap merasa cinta, tidak mau lepas dan dipisahkan.

Seluruh sumber daya diri mereka sudah ditransfer/dipindahkan ke pasangan dan hubungannya. Mereka pikir mereka sudah tidak punya apa-apa lagi di luar pasangan dan hubungannya. Tidak heran mereka merasa melekat, alias cinta dan sayang banget.

Logis dan masuk akal, bukan?

Saya beri analogi ya.

Bayangkan Anda berencana menabung selama enam bulan untuk membeli laptop idaman. Setiap bulan Anda secara sadar mengurangi pengeluaran, bahkan sampai rela mengurangi makan dan aktivitas bersenang-senang. Sambil menunggu jumlah uangnya cukup, anda habiskan banyak waktu menonton banyak video ulasan di Youtube dan membicarakannya dengan teman-teman yang paham gadgets.

Anda juga tidak pernah alpa melangkah ke dalam toko untuk sejenak memegang perangkat impian jika kebetulan sedang berada di shopping mall. Sepulang dari sana, Anda merasa semakin yakin dan sangat tidak sabar untuk memilikinya.

Kira-kira bagaimana perasaan Anda ketika akhirnya uangnya terkumpul dan bisa memboyong pulang laptop yang bikin jatuh cinta sejak lama itu? Pasti rasanya puas dan bahagia luar biasa. Anda akan menyayanginya dengan sepenuh hati, bahkan sampai rela mengeluarkan uang lebih banyak demi sejumlah layanan atau aksesoris yang bisa melindunginya.

Semakin Anda mengingat perjalanan panjang kemarin dan semakin banyak mengeluarkan uang tambahan, semakin dia terasa berharga spesial, semakin anda melekat dan mencintainya.

Coba bayangkan skenario lain di mana Anda memiliki banyak uang dan bisa membeli laptop idaman tanpa susah payah menabung ataupun cicilan. Bayangkan bedanya perasaan Anda ketika membelinya kontan, dibandingkan membelinya dengan menabung lama. Bayangkan juga perbedaan rasa cinta Anda antar dua skenario itu.

Cinta yang kita rasakan pada sebuah seseorang (ataupun laptop dalam analogi di atas) merupakan efek valuasi akibat investasi yang kita timbun padanya.

Perasaan kita pada sesuatu/seseorang awalnya memang muncul begitu saja, alias tidak bisa kita kendalikan. Tapi ketika perasaan tersebut bertumbuh jadi cinta dan sayang, itu sepenuhnya hasil dari upaya dan ‘kerja keras’ kita.

Perasaan itu bisa terus bertumbuh makin besar tergantung dari aktivitas kita, terlepas dari apakah benda/orang yang kita sukai tu benar-benar unggul atau tidak, bersikap baik atau tidak, mau berusaha atau tidak, berlanjutan menyenangkan atau tidak.

Memang rasanya aneh jika kita membandingkan cinta pada pasangan dengan cinta pada benda seperti laptop. Tapi cinta itu buta: prinsipnya sama saja terlepas dari obyek afeksinya. Kita akan memiliki penghargaan dan keterikatan yang besar pada obyek yang kita telah banyak usahakan atau investasikan.

Nah, berbekal pengetahuan baru ini, saya ingin Anda kembali meneropong kembali kasus Angela di awal tulisan ini. Karena saya hanya memberi sepotong kisah dari satu pihak saja, Anda bisa tidak tahu masalah apa saja yang pernah terjadi dalam hubungan mereka. Anda juga tidak tahu apakah pasangan Angela memiliki selingkuhan di luar hubungan tersebut.

Tapi ada tiga kalimat dalam kasus itu yang bisa membantu Anda mengira-ngira kenapa perasaan pasangannya menurun, sementara sang penanya tetap (atau makin) mencintai:

  • “Aku sudah melakukan segalanya buat pasangan.”
  • “Sejak awal aku … selalu lakuin apa saja agar dia bahagia.”
  • “Aku bilang aku mau berubah dan perbaikan…”

Anda bisa melihat dengan jelas Angela sudah terbiasa berinvestasi sendirian. Bahkan ketika pasangannya mendadak berkata ingin bubar pun, Angela bukannya marah atau merasa diperlakukan tidak adil, dia malah menawarkan kesediaan untuk memperbaiki diri (alias berinvestasi lagi).

Sepertinya itu sudah jadi pola interaksi yang berakar sangat kuat dalam hubungan mereka. Angela yang merawat segalanya, pasangannya (kemungkinan besar) santai ongkang-ongkang kaki saja, terima beres.

Tidak mengherankan perasaan cinta dan komitmen pasangannya menurun seiring waktu. Tidak mengherankan pasangannya tidak merasa enggan berpisah walau mereka sudah berencana menikah¹².

Tidak mengherankan juga Angela tidak bisa marah dengan pernyataan pasangannya itu, justru malah makin berusaha mencintai karena sang pasangan terlihat begitu berharga. Seluruh sumber daya hidup Angela ada pada pasangan dan hubungan itu; wajar saja dia begitu mencintainya (baca: terikat ingin mempertahankannya).

Apakah Angela bisa memperbaiki keadaan bila dia melakukan tiga nasihat populer di atas tadi?

Menurut saya bisa saja, tapi kemungkinannya cukup kecil, karena ketiga nasihat itu mendorong Angela untuk semakin berinvestasi, padahal sebaiknya sang pasanganlah yang perlu ‘digiring’ untuk (mengimbangi) investasi.

Perasaan pasangannya masih mungkin dibangkitkan lagi apabila Angela mau menghentikan berwirausaha dalam hubungan mereka.

Sebuah hubungan adalah perjanjian milik bersama. Jika ingin berjalan dengan sehat, maka keduanya harus konsisten bersama-sama menanam sumber daya demi mengusahakannya.

Bagaimana cara Angela menghentikan investasi dan menggiring pasangannya berinvestasi, itu adalah pembahasan untuk lain waktu. Untuk saat ini, saya ajak Anda duduk tenang di samping Angela untuk bersama-sama merenungkan prinsip cinta adalah hasil investasi di atas.

Kalau belum begitu paham, baca ulang lagi dari atas dengan perlahan-lahan. Take your time, and let it sink. Memang perlu waktu untuk mencernanya, karena ini adalah prinsip yang kemungkinan besar Anda baru pertama kali pelajari karena memang sangat berbeda dan orisinal.

Jika seluruh penjelasan di atas masih terlalu asing dan keras untuk dikunyah, coba Anda telisik bagaimana kebijakan lokal mendukung prinsip tersebut.

Masyarakat Indonesia mengenal kata ‘kasih sayang’ sebagai sinonim cinta. Itu kata yang luar biasa sekali, karena menggambarkan proses linear dalam prinsip cinta adalah investasi: karena kita kasih (sesuatu) ke seseorang, makanya kita sayang seseorang itu.

Ajaib, simpel, dan masuk akal, ‘kan?

Jika Anda mau penjelasan yang terdengar lebih puitis dan filosofis, simak video pendek (dan klik penjelasannya) yang saya temukan beberapa waktu lalu. Saya terkejut sekaligus terpesona, karena pesannya sejalan dengan isi artikel pendek ini.

Untuk semakin memperkaya pemahaman, saya berikan tugas kecil sebelum menutup mata dan tidur malam nanti: izinkan pikiran Anda melayang bebas ke sekian banyak memori di masa lampau.

Biarkan otak Anda berkembang menyadari bagaimana prinsip baru ini sangat beralasan dalam berbagai kekeliruan dan kegagalan Anda berhubungan, baik semasa PDKT, berpacaran, atau pun berumah tangga.

Esok hari, Anda pasti akan terbangun melihat dunia dengan pandangan yang berbeda. Anda seperti Neo di film Matrix yang bisa dengan jelas melihat kode-kode matrix pada percintaan orang lain.

Relationships will never look the same anymore.

Sekian pelajaran hari ini, sampai jumpa dalam kelas berikutnya.

REFERENSI:
¹ Menguak Definisi Cinta
² Mencegah Baper Dan Tumbuh Perasaan
³ How Couples Meet & Stay Together
Rumus Dasar Relasi Cinta
Romantic Love and Sexual Behavior: Perspective From The Social Sciences
When Helping Helps: Autonomous Motivation for Prosocial Behavior andIts Influence on Well-Being for the Helper and Recipient
Investing in Affection: An Investigation of Affection Exchange Theory and Relational Qualities
Sunk Cost and Commitment to Dates Arranged Online
The Investment Model Scale: Measuring commitment level, satisfaction level, quality of alternatives, and investment size
¹⁰ The Investment Model of Commitment Processes
¹¹ Remaining in an Abusive Relationship: An Investment Model Analysis of Nonvoluntary Dependence
¹² Kenapa Cinta Jadi Pudar?

Share the knowledge!