Semakin terbatas (atau rendah) kualitas kita, semakin nantinya (bahkan bisa seumur hidup) kita beresiko terpaksa kerja keras berusaha memperbaiki dan mengubah pasangan yang kita sudah pilih.
Anda mungkin penasaran, kok bisa begitu?
Baca pelan-pelan ya, karena bisa ditelusuri benang merahnya pada kondisi kita yang kurang berkualitas semasa lajang.
Pada masa single itu, kemungkinan besar orang yang anggap kita menarik pun cenderung setingkat terbatasnya (atau rendahnya) dengan kita. Orang-orang yang kondisinya di atas atau lebih tinggi kecil kemungkinannya melihat (boro-boro tertarik) dengan orang-orang yang ada di bawah.
Karena tidak ada opsi lain, kita membuka hubungan dengan pasangan yang punya sebegitu banyak keterbatasan/ketidakmampuan itu (yang sebenarnya mirip selevel dengan kita)… dengan harapan dia bisa ‘diubah’ jadi membaik dan meningkat. Jadilah di sepanjang hubungan tersebut kita mengerahkan tenaga dan menghabiskan waktu demi mengubah pasangan.
Kita pikir dia akan termotivasi ‘kan?
Sayangnya, hanya sedikit yang berhasil (sesuai harapan).
Justru karena sudah dipacari/dinikahi, pasangan merasa sudah AMAN dan NYAMAN. Dia cenderung hilang niat untuk tingkatkan diri lebih menjauh dari kondisi hidup minus/nol/terbatas (seperti yang dia janjikan ataupun yang kita harapkan).
Kondisi hubungan yang begitu-begitu saja tanpa sadar memaksa kita agresif berusaha (mengayomi, mengingatkan, mengoreksi, mendorong, menjelaskan, menyesuaikan diri, dsb) lebih banyak dibandingkan dia berusaha perbaikan.
Tapi sialnya semakin lama usia hubungan, semakin kita tambah banyak usaha, semakin dia menurun, dan semakin dia menurun, semakin kita tambah banyak berusaha.
Saya yakin Anda pernah mengalami seperti itu.
Apa Maksudnya ‘Nol’?
Jelas saya tidak bicara soal kondisi keuangan saja.
Kondisi minus, nol, atau terbatas yang saya maksud mencakup banyak aspek, mulai dari kepercayaan diri, pengetahuan dan keterampilan praktis, kematangan emosi, kemampuan komunikasi, wawasan dan pola pikir, kehidupan sosial dan pertemanan, hobi dan passion, keberdayaan finansial, kemandirian dari orangtua, kesehatan tubuh dan jiwa, prestasi dan ambisi hidup, kerohanian, pengalaman berhubungan, dsb.
Kita perlu mengembangkan berbagai aspek itu agar lebih terampil dan tangguh dalam menjalani hubungan. Pelanggan ▶ KC Star ◀ pasti paham korelasi hal-hal di atas pada hubungan yang sehat, jadi saya tidak akan ulangi penjelasannya. Silakan ▶ klik daftar sekarang ◀ untuk mulai nonton ratusan videonya.
Percuma saja sukses secara keuangan, apabila tumpul di bidang-bidang lainnya karena uang dan kemewahan tidak bisa menyelesaikan segala problematika hidup. Namun jangan terpeleset juga jadi terlalu berfokus mengasah kepribadian sampai-sampai menutup mata ataupun mengabaikan aspek keuangan.
Semasa lajang, kita perlu manajemen waktu dan energi untuk mengasah dan mengolah berbagai aspek di atas, agar bisa bergerak semenjauh mungkin dari titik nol (baca: seberkualitas mungkin).
Itu sebabnya saya merasa beresiko sekali bila kita memaksakan diri menikah di usia 20an. Hanya segelintir orang yang terlahir ke dunia ini dengan berbagai privilese sehingga di usia 20an sudah bisa leluasa melatih berbagai aspek hidupnya (walau itu tidak menjamin mereka lebih terampil juga). Mayoritas kita tidak seberuntung itu.
Dalam rentang usia prima itulah kita perlu berfokus mengembangkan berbagai aspek dan potensi diri semaksimal mungkin. Usia 20an adalah masa terbaik untuk ‘mengubah’ berbagai keterbatasan dan kekurangan yang (tanpa sengaja) diwariskan dari orangtua kita. Berpacaran di periode ini memang ideal, karena pacaran adalah salah satu ‘sekolah’ untuk mengasah dan menambah (kualitas), dan sebaiknya tidak untuk menikah.
Alasannya adalah sebagai bagian dari proses meningkatkan diri, kita akan mengalami banyak kesalahan dan kegagalan. Sama seperti kita akan berkali-kali keliru memilih pekerjaan, bisnis, pergaulan, dsb demikian juga kita akan berkali-kali keliru memilih pasangan. Berbahaya sekali kita menikahi seseorang di periode usia yang baru belajar mengambil keputusan dan berjalan sebagai manusia dewasa.
Itu yang saya maksud dengan pentingnya pacaran beberapa kali sebagai sekolah pengembangan diri yang memperlengkapi kita untuk perjalanan rumah tangga seumur hidup.
Di usia dua puluhan, kemungkinan besar kita masih belum jauh dari titik nol; bahkan saya yakin masih banyak area yang minusnya. 😁
Wajar sekali di rentang usia itu kita berulang kali memilih orang yang salah, terluka, gagal hubungannya. Kita masih terlalu polos, culun, dan tidak terlengkapi dengan kedewasaan ataupun keterampilan yang diperlukan untuk hubungan jangka panjang.
Namun itu memang wajar dan penting untuk dilalui sebagai bagian dari pendewasaan. Justru beruntung hanya pacaran-pacaran saja, jadi bisa mudah putus dan bubar daripada sudah terjebak dalam pernikahan dengan orang yang keliru.
Sepertinya, mengikatkan diri dalam pernikahan di rentang usia perkembangan hidup yang masih banyak minus, nol, terbatasnya itu adalah beban yang berlebih bagi kedua orang yang menjalaninya. Bisa dipahami kenapa tingkat kekacauan, kecelakaan, dan perceraian pada pasutri di kelompok usia muda Itu cukup tinggi.
Bahagia Diajak ‘Mulai Dari Nol’?
Coba perhatikan fenomena berikut ini.
Orang-orang yang ‘masih nol’ dan ‘belum jauh dari nol’ biasanya berada dalam satu lingkaran atau kolam pergaulan. Mereka wajarnya akan sering berpapasan, saling tahu dan mengenal, sehingga akhirnya wajar juga jadi saling tertarik dan menyukai.
Orang-orang yang ‘masih minus’ (alias di bawah nol) pun banyak berkeliaran di kolam itu juga. mereka biasanya tidak keberatan (bahkan sangat senang) bila diajak serius sama orang untuk ‘mulai dari nol’, karena nol pun lebih besar daripada minus.
Itu sebabnya tidak mengherankan kenapa ada orang yang hepi banget diajak dari nol begitu. Bisa diperkirakan betapa jauh di bawah skor minusnya, sampai-sampai dia terpesona dan bahagia dengan ajakan orang yang berada di titik nol. 😉
Secara sederhana, polanya begini: diri masih minus/nol ➡ dikelilingi orang-orang minus/nol ➡ pacaran atau nikah dengan orang minus/nol/belumjauhdarinol ➡ terpaksa kerja keras mendorong pasangan supaya jauh lebih positif
Seperti sudah saya jelaskan di atas, pola itu umumnya lebih banyak usahanya daripada hasilnya, kecewanya daripada puasnya, capeknya daripada bahagianya.
Kalau kita jadi banting tulang, sebenarnya itu bukan salah pasangan sih, Sikap dia sangat wajar dan bisa dipahami: untuk apa dia susah-susah perbaiki/tingkatkan diri kalau ada kita yang selalu menerima kapan saja dan mau kerja keras lebih dari dia?
Jadi kita mesti susah payah mengubah pasangan itu sebenarnya salah kita sendiri. Itulah (salah satu) konsekuensi dari kita yang membiarkan diri sendiri skornya terbatas (atau rendah) di awal dulu.
Seandainya kita tidak serendah/seterbatas itu, kecil kemungkinan kita jadi dikelilingi orang serupa dan kecil kemungkinan kita tertarik dengan orang-orang demikian juga.
Tentu tidak salah memilih/mengiyakan hubungan dengan orang yang ‘mulai dari nol’. Asalkan kita sadar sepenuhnya dengan konsekuensi dari pilihan itu, dan tidak menyudutkan/menyalahkan pasangan apabila nanti terasa stuck gitu-gitu aja.
Rasanya lucu saja jika kita mengeluh kecewa dan marah-marah saat kaki terluka akibat membeli sepatu yang kualitasnya tidak jelas dan harganya kelewat murah.
Bagaimana Mengurangi Resiko Itu?
Karena semuanya berawal dari kondisi semasa lajang, maka upaya menghindari pola di atas juga wajib dilakukan dari terhindar dari periode tersebut.
Semasa lajang, kita wajib kerja keras mengubah dan meningkatkan diri sendiri jadi pribadi berkualitas dan ada apanya, semenjauh mungkin dari titik nol, kalau bisa sudah di titik +50, +100, +150, dst.
Dengan jadi sosok berkualitas dan ada apanya, kita nyaris otomatis terdorong keluar dari kolam orang-orang terbatas dan apa adanya. Kita jadi punya pilihan untuk terlibat di kolam yang lebih tinggi, dikelilingi orang-orang yang berkualitas dan ada apanya juga.
Seiring peningkatan diri, kemungkinan kita tertarik dengan orang-orang yang minus/nol/mulaidarinol itu semakin menurun drastis, karena sehari-harinya kita sudah dikelilingi orang-orang yang sudah berkembang baik sama seperti kita juga sudah berkembang baik.
Kalau mau disederhanakan: syarat dan selera kehidupan kita jadi tidak sesederhana (ataupun sesembarangan) sebelumnya.
Seperti sudah saya sering bahas dalam berbagai webinar, kualitas hidup dipengaruhi oleh kualitas hubungan yang kita jalani dan kualitas hubungan kita dipengaruhi oleh kualitas pasangan yang mendampingi kita.
Nah lewat artikel ini, Anda menyadari ternyata kualitas orang yang kita temui dan pilih pun sangat dipengaruhi oleh kualitas diri kita sendiri semasa lajang.
Benang merahnya terlihat sangat jelas sekarang ‘kan?
Hidup ini keras, jadi kita akan pernah tidak bisa menghindarkan diri dari kerja keras. Namun kita bisa memilih kapan kerja kerasnya dan untuk siapa kerja kerasnya.
Kebanyakan orang memilih begini: periode kerja kerasnya nanti saja setelah berumahtangga sampai seumur hidup dan tujuan kerja kerasnya untuk mengubah pasangan. Itu bukan pilihan yang salah. Saya hanya melihat itu pilihan yang lebih besar pasak daripada tiang.
Daripada itu, rasanya lebih aman pilihan ini: periode kerja kerasnya dari sekarang semasa muda lajang dan tujuan kerja kerasnya untuk (mengubah) diri sendiri, agar kualitas dan seleranya meningkat dan tidak terpeleset menyukai orang-orang yang masih minus/nol.
Selain menciptakan keamanan, pilihan yang kedua ini juga memberi kita ruang lebih besar untuk berkembang baik sebelum berkembang biak.
Kita tidak seperti binatang yang sekedar hidup untuk bereproduksi, kita punya kecerdasan untuk aktualisasi diri mencetak kebermaknaan dan footprints di sejarah dunia.
Hubungan Sebagai Pekerjaan
Anda yang menyimak ▶ igstory dan iglive saya ◀ pasti sudah sangat familiar dengan perspektif Hubungan Sebagai Pekerjaan. Kalau belum paham, klik saja follow dan baca semua highlights nya.
Menjalani hubungan seumur hidup berarti memiliki pekerjaan 24/7 yang berulang kali dan permanen seumur hidup. Apalagi setelah berumah tangga, isinya adalah kerja-kerja-kerja di luar jam kerja kantoran/bisnis kita. Semua pekerjaan itu masih wajar, sehat, dan menghasilkan. Apapun yang dikerjakan pasti memberi efek positif pada hubungan itu sendiri.
Ingat prinsipnya begini: hubungan adalah PEKERJAAN dan pasangan adalah REKAN KERJA kita. Dia berdiri sebagai partner yang sejajar menemani dan membantu kita atasi berbagai dinamika rumah tangga.
Sekali lagi saya ulang, pasangan adalah rekan kerja kita. Jangan sampai dia malah jadi pekerjaan kita, alias beban tambahan yang harus kita pikul selain menyelesaikan urusan domestik. Jangan sampai kita memilih orang yang masih mentah/payah sehingga nantinya kita harus banting tulang memperbaiki dan mengubah dia jadi manusia dewasa.
Manfaatkan masa muda dan masa lajang Anda untuk MENGUBAH DIRI JADI BAGUS agar bisa mengoleksi dan punya opsi orang-orang bagus yang layak dijadikan sebagai partner.
Masa muda dan masa lajang bukan masa santai apa-adanya, sehingga kita terpaksa kita pilih barang yang masih mentah/payah (seperti kita) dan cape-cape mengasuh mengasah mengolah mengubah dia jadi bagus.
Biarkan mengasuh dan mengasah itu jadi tanggung jawab orangtuanya. Biarkan mengolah dan mengubah itu jadi tanggung jawab dianya.
Kita tidak perlu sok jadi juruselamat. Daripada jadi pahlawan kesiangan, lebih baik kita habiskan energi bertanggung jawab pada diri sendiri: mengolah dan mengubah diri jadi versi yang terbaik.
Dengan demikian, kita jadi hanya mau menerima orang yang sudah berkembang jauh dari titik nol, punya banyak kualitas yang matang dan punya kapabilitas sebagai rekan kerja seumur hidup.
Masuk akal kan? 😊