“Siapa jodoh saya?” Barangkali itu adalah pertanyaan yang sering kamu tanyakan ke diri sendiri.
Sekarang sudah tahun 2020, tapi masih ada saja yang percaya cerita-cerita jodoh adalah takdir dan cinta sejati dari kisah dongeng. Belum lagi dengan kehadiran novel-novel romansa, puisi-puisi dari penyair dan pujangga, dan konten relationship goals yang menjamur di media sosial membuat orang semakin percaya dan ngebet ingin bertemu jodohnya yang sudah ditakdirkan atau the one.
Buat mereka jodoh adalah takdir yang tidak bisa ditawar. Mereka yakin kalau sudah ketemu jodohnya, hubungan mereka pasti terjamin mulus dan romantis seumur hidup.
Dulu, saya juga sering bertanya “Siapa jodoh saya?” dan salah satu orang yang percaya dengan konsep takdir jodoh seperti itu.
Akan tetapi, keyakinan saya tersebut malah jadi bumerang ketika patah hati karena orang yang saya anggap jodoh saya, malah mencampakkan saya.
Akibatnya, patah hati saya jadi 10 kali lipat lebih sakit rasanya. Saya mengalami depresi, menangis hampir setiap hari, dan menanti-nanti mantan menyesal dan kembali lagi pada saya.
Lagipula, jodoh pasti tidak akan kemana-mana atau tertukar, bukan? Ternyata saya salah besar. Saya sampai kehilangan harapan. Saya yakin tidak ada orang lain yang bakal cocok dengan saya. Pertanyan “Siapa jodoh saya” jadi semakin menggema di kepala saya.
Apa artinya saya ditakdirkan untuk tidak punya jodoh? Buat apa saya hidup kalau kehilangan jodoh saya?
Terlalu Percaya Jodoh dan Fokus ke Pertanyaan “Siapa Jodoh Saya” Justru Lebih Sering Putus dan Patah Hati
Sedihnya, masih banyak orang yang belum menyadari dan percaya dengan konsep jodoh. Menurut survey dari Monmouth University, dua dari tiga masyarakat Amerika Serikat masih percaya dengan jodoh.
Berdasarkan data tersebut, profesor psikologi Gary W. Lewandowski Jr., mengatakan bahwa konsep jodoh bisa membahayakan hubungan. Ketika seseorang percaya jodoh adalah takdir, berarti dia menganggap pasangannya pasti sempurna—padahal kesempurnaan sangat mustahil didapatkan dalam hubungan asmara.
“Jika Anda percaya hubungan sukses adalah hasil dari jodoh, Anda akan cenderung malas menyelesaikan masalah hubungan karena Anda pikir pasangan harusnya sempurna dan hubungan seharusnya selalu lancar,” begitu kata Lewandowski.
Kalau Anda masih percaya pasangan adalah jodoh yang ditakdirkan untuk Anda, maka Anda akan menyalahkan pasangan jika terjadi masalah. Anda akan mengkritik pasangan jika dia melakukan kesalahan. Anda akan menuntut pasangan untuk berubah demi Anda.
Akibatnya, Anda akan langsung meninggalkan hubungan dan mencari orang lain yang Anda anggap sempurna. Padahal kesempurnaan tersebut hanya ekspektasi yang membutakan Anda untuk menjalani hubungan secara realistis dan sehat.
Hal serupa juga diungkapkan Ramani Durvasula, psikolog dari California, Amerika Serikat. Menurutnya, percaya dengan jodoh bakal bikin Anda cenderung mencari pasangan untuk mengisi kekosongan, bukan untuk menambah kebahagiaan.
Padahal tanpa ekspektasi dan hasrat mengisi kekosongan, Anda justru akan berkembang bersama pasangan ke arah yang lebih baik. Kalian akan belajar caranya membangun hubungan yang lebih sehat, dekat, dan romantis.
Baca artikel lain:
Kok Rasanya Masih Kesepian Walaupun Punya Pasangan?
Faktanya, Kemungkinan Menemukan Jodoh Sesuai Takdir Itu Mustahil
Secara matematis, sudah terbukti mencari jodoh itu mustahil. Menurut Randall Munroe, penulis buku What If?: Serious Scientific Answers to Absurd Hypothetical Questions kemungkinan Anda bisa bertemu jodoh Anda hanyalah satu kehidupan dari 10 ribu kehidupan!
Itu pun baru terwujud apabila Anda menghabiskan seluruh hidup Anda mencari jodoh. Munroe juga menambahkan, realitanya banyak orang yang tidak punya waktu untuk mencari jodoh—hanya sebagian kecil yang mampu melakukannya.
Munroe menyimpulkan, karena tekanan mencari jodoh sangat berat, sebagian orang jadinya merasa kesepian lalu asal pilih pasangan. Mereka buru-buru menikah, menyembunyikan semua masalah hubungan, dan pura-pura bahagia di depan orang lain.
Menurut penuturan lain dari seorang ahli matematika, Hannah Fry, di dalam bukunya berjudul The Mathematics of Love: Patterns, Proofs, and the Search for the Ultimate Equation memberikan perhitungan mencari jodoh: jika Anda pacaran dengan 10 orang, Anda baru bisa bertemu jodoh Anda setelah putus dengan empat dari mereka (39,87 persen).
Jika pacaran dengan 20 orang, maka Anda harus putus dengan delapan orang (38,42 persen). Jika jumlah orang yang Anda pacari tak terhingga, maka Anda harus menolak 37 persen dari mereka, sehingga kesempatan Anda untuk sukses hanya 1 dari 3 orang.
Kecil sekali kemungkinannya, bukan? Itu pun kalau Anda mau berkencan dengan banyak orang.
Bagaimana dengan Anda yang hanya cuma bisa berpangkutangan dan berdoa agar takdir mendatangkan jodoh Anda dengan sendirinya?
Jodoh dan Takdir Tidak Menentukan Kesuksesan Hubungan Anda
Berdasarkan studi dari University of Washington, jika pasangan yang memandang hubungan sebagai ruang untuk berkembang justru akan lebih bahagia. Mereka menganggap konflik sebagai kesempatan untuk lebih dekat dengan satu sama lain.
Hal ini berbeda dengan orang yang percaya dengan jodoh. Ketika menghadapi konflik, konflik tersebut justru dianggap sebagai tanda pasangan mereka bukanlah jodoh yang ditakdirkan untuk mereka.
Jadi, semua pasangan pasti akan menemui konflik. Namun, berbeda dengan pasangan yang terlalu percaya dengan takdir, pasangan yang realistis justru akan menghadapi konflik tersebut dengan sehat.
Mereka memberikan ruang terbuka untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan satu sama lain demi memperbaiki konflik. Mereka tidak menahan uneg-uneg karena mereka tahu hubungan mereka tidak sempurna, sehingga mereka akan terus berusaha demi satu sama lain.
Meski begitu, terlalu meyakini hubungan sebagai usaha bisa berdampak buruk juga. Pasangan harus memberikan usaha yang seimbang dalam hubungan.
Namun, jika hanya satu pihak yang berusaha, maka hubungan tersebut akan gagal. Jika Anda berada di dalam hubungan abusif, Anda hanya buang-buang waktu jika ingin berusaha memperbaikinya.
Apa yang harus Anda lakukan?
Fry menambahkan dalam bukunya, “It’s a fine balance between having the patience to wait for the right person and the foresight to cash in before all the good ones are taken.”
Artinya, silakan saja Anda percaya dengan jodoh, tetapi jodoh bukanlah takdir yang tidak bisa diubah. Jodoh Anda adalah orang yang tepat menurut standar Anda sendiri, bukan dari takdir.
Setelah bertemu orang yang tepat pun, Anda tetap harus berusaha membangun hubungan yang sehat dan sudah pasti akan ada konflik yang harus dihadapi.
Jadi, bagaimana caranya mencari jodoh yang realistis?
Bagaimana Anda bisa tahu si dia orang yang tepat untuk Anda?
Bagaimana Anda bisa menjawab “Siapa jodoh saya?” untuk diri Anda sendiri?
Para ahli menyarankan beberapa cara ini untuk Anda:
1. Daripada fokus ke pertanyaan “Siapa jodoh saya?” mulailah membuat daftar kriteria pasangan ideal Anda
Tulislah kualitas-kualitas yang Anda inginkan dari pasangan Anda sespesifik dan sedetil mungkin.
Misalnya, Anda ingin pasangan yang baik. Semua orang tentu ingin punya pasangan yang baik. Namun, definisi baik bagi Anda berbeda mungkin daripada orang lain.
Contoh: orang yang sepemikiran dengan Anda saat mengobrol, sama-sama menunjukkan kasih sayang dengan sentuhan fisik seperti Anda, dan mampu menerima kekurangan tertentu pada diri Anda.
Kemudian, tambahkan kualitas-kualitas umum seperti agama, suku, pekerjaan, dan lain sebagainya sesuai yang Anda inginkan.
Lalu, saat Anda bertemu dengan beberapa gebetan, Anda tinggal menyeleksi mereka sesuai dengan kriteria yang Anda buat.
Menulis kriteria seperti ini akan membantu Anda mengeksplorasi diri sendiri. Hasilnya, Anda tidak akan asal-asalan memilih pasangan. Pasangan yang Anda miliki akan lebih kompatibel dengan Anda, karena dia memiliki kriteria pasangan yang Anda inginkan.
Baca artikel lain:
Komunikasi Bukan Kunci Hubungan Harmonis
2. Jangan pusingkan pertanyaan “Siapa jodoh saya”, Sayangi diri sendiri dulu
Para ahli berkata, hubungan yang sehat berawal dari Anda menyayangi diri sendiri.
Jangan sampai Anda mencari pasangan dan terus bertanya “Siapa jodoh saya” demi mengisi kekosongan karena takut tidak dapat jodoh. Sambil mencari jodoh, luangkan waktu Anda untuk meningkatkan kualitas diri—baik meningkatkan kualitas karir, kepribadian, dan kehidupan Anda. Anda harus bisa membahagiakan diri sendiri sebelum bertemu jodoh Anda.
Ketika yakin telah kehilangan jodoh, saya berusaha menyayangi diri sendiri dengan move on dari mantan.
Saya menghabiskan waktu dengan menulis novel dan membuat tugas akhir agar lulus kuliah. Kemudian, saya membaca lalu mempraktikkan artikel dan buku-buku dari Kelas Cinta, mengikuti kelas Lovable Lady, mendekatkan diri dengan teman-teman yang lebih berkualitas, kenalan dengan banyak gebetan yang keren, dan lain sebagainya.
Dengan melakukan semua itu, saya jadi bisa membuat kriteria pasangan yang tepat untuk saya. Selang dua tahun, saya jadian dengan salah satu gebetan yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang saya buat. Pada akhirnya, dia menjadi suami saya sekarang.
Ternyata apa yang saya pikirkan dulu salah. Saya memang bisa menemukan orang yang tepat untuk saya, tetapi saya tidak bisa berpangkutangan menunggu dia datang. Saya harus move on, tingkatkan kualitas diri dulu, baru saya bisa bertemu dengannya.
3. Amati hubungan-hubungan di sekitar Anda
Jangan terlalu sibuk lihat-lihat postingan relationship goals di media sosial, karena Anda bisa membuat ekspektasi hubungan yang tidak realistis. Lebih baik amati hubungan-hubungan orang terdekat Anda seperti hubungan orangtua atau sahabat dengan pasangannya.
Dengan begitu, Anda akan dapat pandangan yang lebih realistis soal hubungan asmara. Amati cara mereka berinteraksi di depan Anda, dengarkan cerita-cerita mereka kepada Anda, dan lain sebagainya.
Dari mereka, Anda akan tahu sisi positif yang Anda kagumi dan sisi negatif yang Anda benci dari hubungan mereka.
Apabila memungkinkan, coba minta tips hubungan yang sukses dari mereka. Jika tips dari mereka cocok untuk Anda, Anda bisa praktekkan saat sudah punya pasangan.
Kalau mereka baru saja putus atau cerai, tanyakan apa yang bisa membuat mereka berpisah. Sebab mereka berpisah bisa Anda jadikan pelajaran untuk hubungan Anda sendiri di masa depan.
Setelah menikah pun, saya masih melakukan hal ini dengan suami saya. Ketika saya melihat teman melakukan hal positif dengan pasangannya, saya sampaikan pada suami agar kami juga bisa melakukannya. Saat bertengkar, saya tegaskan pada suami bahwa saya tidak suka dibentak karena itu membuat saya sedih.
Saya juga belajar cara mengatasi konflik hubungan di KC STAR sehingga masalah kami tidak pernah berlarut-larut dan kami selalu menemukan solusi terbaik untuk kedua pihak. Anda bisa pelajari ilmunya lewat LINK di bawah:
>>> KC STAR <<<
Jangan anggap jodoh adalah takdir Anda yang harus ditunggu atau didoakan. Jodoh tetap harus dicari dan diusahakan dengan tingkatkan terus kualitas diri dan standar Anda dalam mencari pasangan. Anda harus selalu bersikap realistis, karena tidak ada hubungan yang selalu mulus dan sukses dengan sendirinya.
Referensi:
[1] Why You Should Stop Trying to Find Your Soulmate—And What to Do Instead
[2] Most Want a Partner Like Them
[3] The Science of Soulmates
[4] Implicit Theories of Relationships: Assessment and Prediction of Romantic Relationship Initiation, Coping, and Longevity
[5] The Case Against ‘Soul Mates’
[6] The Actual Algebra of Finding Your Soul Mate
[7] What Mathematics Reveals About the Secret of Lasting Relationships and the Myth of Compromise