Berapa Lama Emosi Dalam Hubungan?

Home Articles Berapa Lama Emosi Dalam Hubungan?
Share the knowledge!

“Saat panas dan emosional, berapa lama sih emosi dalam hubungan? Kalau dia sering berantem dan marah berhari-hari, itu wajar kah? Pernah juga tempo hari sampai seminggu dia gak mau diajak ngobrol, bahkan urusan penting lain pun dia telantarkan gak mau jawab.”

Jika seseorang belum mampu meredakan kecewa, amarah, jengkel, atau gejolak negatif lainnya agar kembali komunikasi tenang keesokan hari, kemungkinan dia masih terlalu ingusan untuk Anda percayakan sebagai pasangan.

Waktu menyendiri dan menenangkan diri bisa diberikan sekitar 1×24 jam dari titik bentrok atau konflik. Tidak perlu berhari-hari, berminggu-minggu, apalagi berbulan-bulan.

Itu berlaku untuk kondisi emosional apa pun, baik yang emosi karena kesalahan dia sendiri ataupun karena kesalahan pasangan/orang lain.

“Lho, emang setiap masalah bisa diselesaikan dalam 24 jam, Coach Lex?”

Perhatikan, jawaban di atas tidak bahas tentang menyelesaikan masalah. Saya bilang MEREDAKAN EMOSI NEGATIF. Peredaan emosi sebenarnya bisa cepat dilakukan dalam hitungan menit sampai beberapa jam.

Setelah emosi mereda, Anda dan pasangan bisa melangkah lebih dekat untuk mencari solusi-solusi masalah kalian berdua.

Anda perlu bisa membedakan mana masalahnya, dan mana letupan emosi yang timbul akibat masalahnya.

Meredakan emosi jelas bukan menyelesaikan masalah.

Meredakan bukan juga berarti memaafkan, menerima kesalahan, dan memberi kesempatan baru.

Meredakan yang saya maksud adalah Anda atau pasangan tidak lagi meledak-ledak, agresif saling menyerang atau menyalahkan. Bila hati masih panas, saya jamin kalian tidak mampu berdialog membicarakan akar masalah dan merumuskan solusi.

Jadi emosi perlu reda dulu, baru komunikasi bisa terjadi. Jika emosinya masih tinggi, tidak akan terjadi diskusi, yang ada hanya (lebih banyak) friksi. Pendapat kalian akan semakin bergesekan, hantam sana-sini, dan akhirnya nihil solusi.

Urutan langkah diskusi konflik yang sehat seperti ini:

  1. Masing-masing bergantian mengutarakan keluhannya tanpa ofensif dan menjelaskan kebutuhan apa yang dilanggar dan/atau tidak dipenuhi.
  2. Masing-masing bergantian menyimak tanpa defensif dan memberi feedback positif atas keluhan/kebutuhan yang disampaikan.
  3. Masing-masing bergantian menawarkan beberapa opsi solusi untuk memenuhi dan menghargai kebutuhan lawan bicara.
  4. Kedua pihak berdiskusi menyepakati satu kombinasi opsi yang dianggap paling bisa memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
  5. Kedua pihak saling menyampaikan pernyataan maaf dan memberikan maaf, serta aksi-aksi positif lainnya untuk merekatkan kembali hubungan yang sempat meregang sejak langkah pertama tadi.

Solusi dan perbaikan baru bisa muncul di langkah 3, 4, dan 5. Kalian tidak akan bisa sampai ke sana jika belum ada langkah 1 dan 2.

Jadi meredakan emosi yang saya maksud adalah menurunkan suhu, gejolak, radang, dan sensitivitas setenang mungkin agar kalian berdua bisa berdialog melakukan dua langkah pertama.

Jadi bisa dibilang meredakan emosi adalah langkah 0 yang memulai segalanya. Ibaratnya langkah 0 adalah pintu masuk menuju tempat yang lebih baik.

Kalau di depan pintunya saja sudah tuding menyerang, hampir bisa dipastikan langkah 1 sampai 5 tidak akan terjadi.

Itu sebabnya saya menekankan kedua orang perlu bisa MEREDAKAN EMOSI dalam hitungan jam. Semakin cepat bisa reda, semakin cepat kalian bisa mulai proses dialog yang menelurkan solusi dan perbaikan.

Anda dan pasangan jadi tidak perlu bertele-tele menghabiskan tenaga yang tidak menghasilkan solusi apa pun.

Ketika Emosi, Otak Buntu

Anda perlu sadar bahwa saat merasa emosional, tubuh sedang dibanjiri dengan hormon stres (kortisol), adrenalin, dan norepinefrin dalam jumlah yang berlebihan. Tentu ada campur tangan lainnya, tapi ketiga itulah pemain utama dari gejolak emosi Anda.

Latih diri Anda untuk merileksasikan tubuh dan pikiran dengan meditasi, beristirahat yang cukup, mendengarkan musik yang menenangkan, dan sebagainya.

Jika tubuh dan pikiran Anda terlatih tenang, ucapan yang keluar pun tidak akan menyerang.

Perhatikan analogi ini.

Bayangkan Anda sedang mengendarai mobil di jalur cepat dan ingin berpindah ke jalur lambat. Baru beberapa derajat membelokkan kemudi, tiba-tiba Anda melihat di spion sebuah mobil melesat kecepatan tinggi datang dari arah belakang jalur lambat.

Pada detik itu juga otak dan kelenjar adrenal langsung memompa adrenalin dan norepinefrin demi membantu refleks Anda menghindari bahaya.

Pada saat yang sama, bagian otak bernama amygdala mengirimkan pesan “Pompa kortisol juga, buruan!” demi menambah tekanan darah dan produksi gula agar tubuh jadi super waspada penuh energi mengantisipasi hal-hal buruk yang mungkin terjadi setelahnya.

Itu sebabnya walau sudah aman dan terhindar bahaya, tubuh Anda masih terus “panas”, kencang, tegang, was-was, dan berdebar-debar emosional selama sekian lama.

Kondisi itulah yang disebut stres. Anda mungkin tidak menyadari ini, tapi otak Anda autopilot ratusan mini actions berikut:

Terus-menerus mengulang memori kejadian tadi, merekonstruksi detil keputusan detik demi detik, menginvestigasi siapa yang salah, mengestimasi kebrengsekan pengemudi mobil tadi, membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi, membandingkan kisah-kisah kecelakaan yang pernah dibaca/dialami, dan sebagainya.

Semakin Anda memikirkannya, semakin tubuh Anda terkunci dalam kondisi stres akibat semprotan ketiga hormon tadi. Otak tahunya Anda masih dalam bahaya, makanya elemen-elemen proteksi itu terus dipompa dan dipertahankan.

Setiap kali teringat kejadian buruk di masa lalu, tubuh Anda kembali panas tegang seperti ketika awal mengalaminya dulu.

Menurut beberapa referensi medis, kira-perlu sekitar 20 menit sampai 2-3 jam bagi ketiga hormon itu larut, pudar, dan tubuh kembali ke kondisi rileks normal. Angkanya berbeda-beda tiap orang, tergantung kondisi kesehatan dan seberapa lihai dia mengambil alih mini actions di otaknya.

Itu artinya jika detik ini Anda menghentikan seluruh mini actions, Anda bisa berangsur-angsur tenang normal dalam setidaknya dua puluh menit dari sekarang.

Kecepatan ini tergantung juga dari kebiasaan sejak kecil.

Jika seseorang jarang mengendalikan emosi (misalnya: dia anak manja, jadi jarang mengontrol emosi karena orang-orang di sekitarnya-lah yang menyesuaikan diri mereka untuk dia), maka dia akan lambat/sulit sekali mengesampingkan mini actions di otaknya.

Orang-orang yang tidak lihai redakan emosi akan membuat tubuhnya tenggelam dalam kadar kortisol yang berlebih seharian sampai akhirnya jadi stres kronis.

Bila itu diteruskan, tingginya kortisol membuat efek berikut: mengacaukan kemampuan belajar dan mengingat, merendahkan fungsi imunitas, meningkatkan berat badan, menambah kolesterol, meningkatkan potensi penyakit jantung dan pencernaan, menambah resiko depresi dan gangguan kejiwaan, dan segudang penyakit fisik lainnya.

Bukan cuma hubungan Anda terancam rusak, tubuh Anda juga terancam rusak!

Anda pasti pernah membaca atau mendengar orang-orang yang mengidap penyakit berat karena stres terus-terusan. Anda bisa menjadi salah satu dari mereka kalau tidak melatih meredakan emosi dari sekarang.

Sekarang Anda bisa mengerti ‘kan kenapa saya sangat menekankan pentingnya meredakan emosi dalam 1×24 jam itu?

Emosi (negatif) sebenarnya tidak bercokol lama dalam tubuh. Dia muncul refleks untuk memproteksi diri ketika ada hal-hal yang disinyalir mengganggu atau berbahaya.

Beberapa menit kemudian, tubuh akan berangsur-angsur kembali ke mode rileks atau normal, apalagi jika sudah sempat tidur malam.

Itu artinya jika esok hari pasangan masih terus terbakar emosi, itu akibat DIA SENDIRI YANG SENGAJA TERUS NGEGAS DAN MEMANAS-MANASKAN OTAKNYA!

Tubuhnya sih pasti sudah rileks kalem, tapi DIA-nya sendiri yang terus menyulut api di dalam pikirannya. Akibatnya dia jadi siap tempur kapan pun dan di mana pun.

Pada titik itu, kalimat “Gue masih emosi banget!” sebenarnya berbunyi “Gue masih sengaja ngelakuin hal-hal yang bikin panas di dalam kepala sendiri! Gue ogah ngelakuin hal-hal yang bikin adem tenang, karena gue sukak dengan perasaan powerful secure berserk mode begini! Gue gak peduli dengan solusi, gue cuma pengen menikmati emosi ini!”

Dalam program Smart Conflict Resolution (SCR), saya bahas bagaimana api tersebut memancing “kuda kiamat” dan apa saja strategi untuk memadamkan api serta menghindari hancurnya hubungan.

Hal-hal yang akan Anda pelajari di SCR:

  • Bagaimana caranya mendorong pasangan Anda yang malas berbicara, jadi bawel menyampaikan isi hatinya dan apa yang dia inginkan
  • Kenapa dengan mendengarkan Anda justru lebih banyak mendapatkan apa yang Anda inginkan, dibanding berbicara, meminta, atau menuntut orang lain
  • Bagaimana memilih waktu yang tepat untuk membicarakan konflik
  • Cara bernegosiasi dengan orang lain yang menyebabkan win-win solution, karena win-lose solution dalam konflik hubungan sebenarnya SAMA SAJA DENGAN LOSE-LOSE.
  • Step by step flowchart untuk menangani konflik dengan siapa saja
  • Dan masih banyak lagi!

Ingin belajar SCR?

Klik link di bawah:

SMART CONFLICT RESOLUTION

Itu sebabnya saya sering bilang jika pasangan tidak bertanggung jawab dengan emosinya, berhari-hari menutup komunikasi atau bahkan menghilang total, lebih baik dibuang saja.

Kalau dipertahankan, Anda bakal capek meladeni orang yang belum dewasa. Anda ‘kan ingin memiliki pasangan, bukannya mengasuh anak ingusan?

Sefatal-fatalnya pelanggaran dan kekecewaan, Anda dan pasangan perlu belajar mengelola gejolak emosi negatif dalam waktu satu hari. Tidak perlu reda sampai nol, tidak perlu hilang adem total; yang penting sudah berkurang lebih dari 50%, sehingga kalian bisa ngobrol lagi.

Kalau masih terlalu luka/sakit untuk dibahas esok hari, okelah kalian bisa tunda bahas topik itu, tapi kalian tetap perlu kembali kalem berkomunikasi tentang hal-hal lainnya.

Kadang ada kondisi-kondisi tertentu yang memang butuh persiapan beberapa hari untuk dibahas tuntas, tapi ketenangan dan keredaan emosi sudah wajib terjadi semenjak hari kedua dan seterusnya.

Jalur komunikasi sudah wajib terbina kembali sejak hari kedua. Karena tidak akan ada solusi bila tidak terjadi diskusi, dan tidak akan terjadi diskusi jika salah satu pihak masih emosi tinggi.

Saya sangat berharap informasi di atas bisa melekat dalam benak banyak orang yang sedang menjalani hubungan dan rumah tangga, termasuk Anda.

Share the knowledge!