Di masa awal pencetusan emansipasi wanita, R.A Kartini tersenyum lebar. Sebab ia mampu memperjuangkan kesetaraan hak wanita dengan pria. Dampaknya hingga hari ini, kita bisa melihat para wanita mampu duduk sejajar dengan pria di posisi Top Management sebuah perusahaan. Sama-sama diberi kesempatan setara untuk mencari nafkah, berprestasi, berpolitik, dan melakukan banyak hal lainnya merupakan sebuah hal yang sangat tidak mungkin dilakukan wanita di era sebelum emansipasi.
Emansipasi adalah sebuah kemajuan sosial yang sangat luar biasa.
Tapi hari ini, R.A Kartini sedang menangis. Sebab, paham yang ia buat kini telah dibiaskan maknanya. Wanita modern telah mencampuradukkan emansipasi dan feminisme barat sehingga bermutasi menjadi formula baru yang tidak layak lagi disebut emansipasi maupun feminisme. Contohnya sudah dijabarkan pada artikel Feminisme Yang Kebablasan. Emansipasi berbicara soal setara, sementara feminisme yang kebablasan berbicara soal berada di posisi yang lebih tinggi, jauh sekali dari kata setara. Saya menyebutnya Premanisme Feminin (kita singkat PF).
Namun untungnya, di masa kini masih ada banyak sekali wanita yang mampu mengerti inti dari emansipasi dan feminisme secara benar. Mereka adalah wanita-wanita yang menerapkan emansipasi dengan cara berikut ini:
- Tidak pasif menunggu memulai. Karena mereka paham betul hak atau kewajiban pria untuk memulai setara dengan wanita. Sedangkan penganut PF akan berkata, “Wanita itu berharga, gengsi dong kalau Wanita ngajak jalan duluan. Nanti harga kita turun”.
- Tidak cuma bisa minta ditraktir, tapi juga mau mentraktir. Karena dia tahu pria dan wanita punya kesetaraan hak untuk ditraktir. Sedangkan penganut PF berpikir, “Menafkahi kan tugas cowok, berarti bayarin juga tugas cowok.” Ini aneh. Mendukung feminisme agar wanita bisa bekerja dan punya uang, tapi menggunakan prinsip jaman di mana wanita tidak bekerja.
- Tidak ngambek ketika pasangannya tidak bisa mengantarkan. Karena ia mandiri bisa pergi sendiri. Feminisme mengajarkan kemandirian, sedangkan penganut PF menunjukkan ketidakmandirian dan kebergantungan.
- Tidak menggunakan istilah “Ladies First” untuk meraup keuntungan. Karena kesetaraan hak jelas berbicara soal setara, bukan siapa yang duluan. Sedangkan penganut PF tahu betul bagaimana Ladies First bisa membantunya untuk menembus sebuah antrian atau selamat lebih dahulu.
- Duduk di area wanita (bus, kereta). Karena ia tahu dengan duduk di area umum (padahal ada area wanita) akan merugikan hak pria yang hanya diperbolehkan duduk di area umum. Sedangkan penganut PF berpikir, “Kalau pria boleh duduk di area umum, wanita juga boleh dong”.
- Tidak merasa lebih berharga (baca: mahal) daripada pria. Karena ia sadar emansipasi mengajarkan kesetaraan, pria dan wanita setara berharganya. Sedangkan penganut PF berpikir, “Wanita itu berharga, jangankan harga dirinya, harga makeupnya aja udah berapa, belum bajunya.”
- Tetap bertanggung jawab pada kodratnya yaitu mengurus rumah tangga, walau ia mampu mencari nafkah. Sebab ia tahu emansipasi adalah kesetaraan hak tanpa melupakan kewajiban. Sedangkan penganut PF berpikir, “Tugas dan kewajiban pria jelas adalah menafkahi keluarga. Kalo tugas saya, kan ada pembantu. Jangan samain saya dengan pembantu dong.”
- Tidak menganiaya pria ketika mereka emosi. Sebab ia tahu emansipasi bertujuan untuk kesetaraan gender, bukan eksploitasi atribut/fungsional gender. Sedangkan penganut PF berpikir, “Cowok kan lebih kuat, jadi dipukulin juga nggak berasa sakit. Jadi ya pukulin aja.” Penganut PF lebih menyerupai pasukan Spartan ketimbang wanita.
- Tetap bisa anggun. Sebab ia tahu emansipasi adalah mengenai kesetaraan hak, bukan kesetaraan berperilaku maskulin seperti pria, atau menuntut pria untuk berperilaku sensitif, mellow, dan feminin.
So, jika Anda mengagungkan feminisme dan emansipasi, sudahkah Anda berperilaku layaknya penganut sejati seperti di atas? Atau justru penganut Premanisme Feminin? Bagaimana cara menghadapinya? Untuk tahu caranya, baca artikel berikutnya berjudul “Menghadapi Feminisme Wanita“