Salah seorang teman saya bercerita saat dia mengalami putus cinta beberapa minggu silam. Sebagai pihak yang diputusin, dia mengalami krisis kepercayaan diri. Katanya, wanitanya—atau lebih tepatnya disebut dengan mantan—minta putus dengan alasan super klasik menurut saya, Kamu nggak bisa bikin aku seneng—setelah mereka pacaran lima tahun lamanya.
Bayangkan, lima tahun bukan angka sebentar untuk menjalin sebuah komitmen. Well, meskipun saya nggak tahu alasan sebenarnya si wanita mutusin si pria. Bisa memang sudah nggak nyaman, banyak masalah, atau mungkin tertarik dengan pria lain.
Namun, alasan seperti itu mampu membuat seseorang krisis kepercayaan diri. Beberapa hari, teman saya berpikir kalau dialah satu-satunya masalah sehingga nggak bisa membuat si wanita bahagia dan akhirnya diputusin. Teman saya nggak berhenti berkhayal, seandainya lebih berusaha membuat si wanita bahagia, mungkin kisah putus itu nggak bakal terjadi. Akhirnya timbul pertanyaan yang saya sendiri sebagai wanita bingung menjawabnya.
“Emangnya, cara bikin wanita bahagia itu gimana, sih? Kayaknya gue udah lakuin yang terbaik, deh.”
Pernahkah kamu mengalami hal tersebut? Entah berapa banyak yang masih berpikir bahwa kebahagiaan seseorang adalah tugasnya. Kalau nggak dibahagiaan sama pasangan, akhirnya nelangsa dan menganggap si dia nggak peduli dan cinta lagi sama kamu. Ujung-ujungnya, kebiasaan berpikir bahwa kebahagiaan kita ditentukan oleh pasangan, membuat kita jadi rese, marah-marah, dan sedih saat dia ngecewain kita.
Nggak munafik, sih, bahwa saat menjalin hubungan, kita berharap bisa dibahagiakan sama pasangan. Seneng dong kalau pasangan berjuang sesuatu demi kita yang sayangnya hal itu muncul karena ekspektasi-ekspektasi kita sendiri.
Contoh paling simpel. Sebagian wanita berpikir bahwa salah satu cara untuk membuat kamu senang adalah saat pasangan bisa nganter kamu mencoba tempat makan baru yang sudah lama ingin didatangi. Kamu penuh harap. Jumat malam bertemu si dia. Kencan. Mencoba menu baru. Sempurna! Si pria janji akan jemput kamu sekitar pukul 6 sore sehabis pulang kerja. Namun, siapa yang sangka kalau si dia ada meeting mendadak atau mobilnya mogok?
Karena kamu berekspektasi besar dan menganggap hanya bisa makan dengan pasangan, kamu langsung kecewa. Ngambek. Marah. Dan berpikir kalau, “Kamu tuh nggak bisa, ya, bikin aku seneng?!”
Coba seberapa sering kamu berkespektasi besar dan akhirnya dikecewakan (karena salah kamu sendiri)?
Padahal bisa saja, tuh, kamu datang ke restoran baru itu sendiri atau ngajak teman kantor atau keluarga? Mencoba menu terbaru dengan teman atau keluarga, toh, nggak akan kalah seru dan membahagiakan, bukan? Apa kamu berpikir bahwa kebahagiaan hanya bisa diciptakan saat kamu bersama si pacar?
Semoga nggak, ya.
Jadi, ubah pikiran bahwa pasangan bertanggung jawab atas kebahagiaan kamu. Satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu adalah diri kamu sendiri. Menggantungkan kebahagiaan di tangan orang lain adalah sikap konyol dan sering berakhir dengan kekecewaan. Iya, dong? Orang lain juga sibuk mengurus kebahagiaannya sendiri.
Begitupun saat kamu sedang jomblo. Penting bagi kamu untuk nggak berpikir bahwa pacaran bisa bikin kamu bahagia. Belum tentu. Kalau dari awal kamu nggak bisa menciptakan kebahagiaan saat single, belum tentu bisa bahagia saat berdua.
Jadi, bahagia kamu, tugas siapa?