Isolasi Corona, Stress Test, dan Perceraian

Home Articles Isolasi Corona, Stress Test, dan Perceraian
Share the knowledge!

Jika Anda dan pasangan terkunci isolasi dalam rumah sehingga menghabiskan waktu bersama sepanjang hari selama satu bulan penuh, kira-kira hubungan kalian akan jadi membaik atau memburuk?

Kemungkinan besar Anda yakin jawabannya membaik. Saya juga berharap begitu. Sebagian hubungan akan membaik, namun tidak sedikit juga yang akan memburuk sampai akhirnya putus/cerai.. seperti foto berita virus Corona berikut.

Saya tidak tahu apa reaksi pertama Anda membaca berita tersebut. Jika Anda bingung, tertawa, atau merasa itu konyol, luangkan waktu membaca tulisan ini sampai selesai. Silakan klik web link-nya di ujung tulisan ini jika sulit terbaca gambarnya.

Saat China sudah melewati masa kritis penyebaran Covid-19 (bahkan kalau tidak salah berita tempo hari menyatakan tidak ada kasus baru!), justru tercatat 300 pengajuan cerai dalam tiga minggu terakhir. sebegitu tinggi lonjakan itu, ada satu kota yang jadi menetapkan batas hanya boleh 10 perceraian per hari.

Saya yakin berita meningkatnya perceraian pasca masa isolasi/karantina virus tidak terlalu mengejutkan bagi orang-orang yang sudah rajin mengikuti materi dan event Kelas Cinta. Sedih bacanya, tapi bukan hal aneh dan kejadiannya sangat masuk akal.

Menurut The Global Times, “The surge in divorce appointments was the result of the pandemic causing couples to be ‘bound with each other at home for over a month’ and it created conflict and the desire for impulsive divorces.

Baca juga:
Komunikasi Bukan Kunci Hubungan Harmonis

Bagi Anda yang belum familiar dengan ilmu relasi, izinkan saya bahas singkat sejumlah faktor dugaan yang mempengaruhi dan menjelaskan fenomena perceraian akibat terlalu lama waktu bersama itu.

  • PERTAMA. Peningkatan mendadak itu bisa jadi karena ada banyak kantor hukum tutup semasa isolasi sehingga kasus/sidang cerai (yang diajukan sebelum isolasi) menumpuk tak bisa diproses sama sekali. Ketika akhirnya kantor kembali buka operasional, wajar terlihat ada lonjakan besar jumlah kasus yang sempat tertahan selama ini, plus kasus-kasus yang baru masuk. Saya kira ini faktor di luar relasi yang cukup besar pengaruhnya.
  • KEDUA. Niatan bercerai bisa terjadi karena tingkat stres dan panik tinggi semasa isolasi. Kehadiran virus yang belum ada vaksin ataupun obatnya itu tidak hanya mengancam kesehatan tubuh, tapi juga kesehatan mental, kinerja ekonomi, dan kesejahteraan berlingkungan/sosial. Bila sepasang kekasih kurang terampil mengelola gejolak tekanan eksternal, sentimen negatif itu akan spill over (tumpah) mengacaukan kualitas komunikasi mereka. Suami-istri jadi saling berbalasan bersikap sensi, dingin, ketus, atau mudah terpelatuk panas satu sama lain, memicu empat perilaku pemicu cerai. Ini dibahas detil dalam tutorial Smart Conflict Resolution dan seminar Relationship Blueprint.
  • KETIGA. Masa isolasi panjang itu berpotensi mengungkap jurang perbedaan minat/frekuensi/nilai antar suami-istri. Mungkin saja (sebelum nikah) keduanya sempat sadar akan perbedaan itu, tapi mereka menutup mata, mengalah, mengabaikan saja karena berkeyakinan cinta/nikah/anak akan jadi solusi. Setelah nikah, mereka mengalami gangguan tapi masih bearable karena suami-istri cuma berinteraksi beberapa jam saja dalam satu hari. Dengan adanya isolasi dan interaksi sepanjang hari, perbedaan-perbedaan itu terasa lebih mencolok, seperti duri dalam daging yang membuat keduanya bengkak meradang. Berduaan terus sepanjang hari dan berminggu-minggu, tapi ngobrol nyambung enak aja susah. Frekuensi konflik gegara hal-hal sepele meningkat, mengipas emosi sehingga terpikir ingin pisah/cerai.
  • KEEMPAT. Dikarantina dengan ruang gerak minim itu juga membuat suami-istri semakin mudah+sering melihat masalah, kekurangan, kesalahan, ketidakdewasaan, keburukan, kepayahan pasangan. Setiap ada satu kelalaian/kesalahan kecil baru akan cepat sekali updated masuk ke deskripsi karakter pasangan, sementara hal-hal baik dan positif lolos dari pengamatan, tidak diapresiasi karena dianggap sudah kewajiban. Siklus itu menciptakan negative sentiment override yang perlahan menggerogoti tingkat kepuasan, kebahagiaan bersama. Masing-masing yakin diri tidak bahagia disebabkan oleh pasangannya, wajar gatal ingin cerai dan gerah ingin berpisah.
  • KELIMA. Semasa karantina itu, kemungkinan ada pihak yang tidak-terbiasa dengan pekerjaan domestik (biasanya pria) sehingga dia kurang kooperatif/suportif dengan kesibukan pasangannya. Ketika suami terlihat jelas-jelas ‘santai’ di rumah tapi tidak proaktif terlibat memantau dan mengurus anak, memikirkan dan mengatur suplai makanan, membereskan tetek bengek rumah, dsb itu akan memicu kecemburuan istri. Perlahan tapi pasti, istri jadi lebih sensitif atau on edge, tanpa sadar jadi ekstra menuntut, menyudutkan, menyalahkan suami atas banyak hal. Suami (yang tradisional) merasa diusik dan tidak dihormati, istri merasa diabaikan dan tidak dihargai. Tidak sulit melihat bagaimana virus ide perceraian mulai terduplikasi dalam otak mereka.
  • KEENAM. Kegiatan mengurus anak dan kecemasan seputar anak akan berlipatganda, sehingga waktu dan energi suami-istri jadi terfokus bahas urusan anak saja. Momen intim/akrab berdua yang sebelumnya sudah minim jadi semakin punah di masa isolasi. Suami-istri tidak bisa bebas bicara masalah, nyaman membuka hati, ataupun membina kehangatan karena sepanjang hari bersama anak-anak (dan mungkin tambahan keluarga eksternal lainnya yang ikut terisolasi bersama). Anak jadi prioritas utama, hubungan dibiarkan terbengkalai. Hidup bersama tapi tidak terasa cintanya, cuma terasa segudang lelah, stres, dan kecewanya. Jika dibiarkan berlama-lama ini akan membuka jendela untuk perselingkuhan ataupun pintu untuk perceraian, seperti saya sering share dalam acara komunitas parenting.

Tentu masih ada banyak faktor lainnya (seperti kejenuhan, kebingungan distribusi tugas/peran, campur tangan keluarga besar, hilangnya private space, berkurangnya rasa berdaya, dsb) yang tumpang tindih menambah beban perjalanan hubungan, khususnya di masa-masa sulit seperti sekarang ini. Saya yakin followers Kelas Cinta sudah pernah menyimak pembahasan poin kedua sampai keenam di atas dalam berbagai KC STAR ?, Youtube KC, siaran live IG, ataupun instastory saya.

(Sssst… Anda bisa sedot materi KC STAR lewat LINK di bawah)

>>>KC STAR<<<

Sedikit melebar keluar dari topik virus, hal-hal tersebut adalah dasar saya merekomendasi pacaran lama sebelum nikah: durasi pacaran 2-3 tahun berfungsi semacam stress test untuk melihat bagaimana sepasang kekasih beroperasi menghadapi berbagai macam tekanan dari dalam dan luar hubungan.

Kita tidak akan benar-benar mengenal satu sama lain sebelum habiskan banyak waktu bersama. selain waktu, faktor lokasi juga penting. Sulit mengukur kecocokan dalam kondisi LDR; tinggal sekota jauh lebih direkomendasikan, apalagi tinggal serumah yang jelas akan membuka banyak hal (walau ada konsekuensi lainnya).

Diperlukan waktu yang (sangat) panjang dan jarak yang (sangat) dekat untuk menguji apakah sepasang kekasih akan bertumbuh saling menyatu ataukah bergejolak saling menyakiti.

Relationship can bring the best out of you. It can also bring the worst out of you,” demikian bahasan saya dalam seminar toxic relationship di Universitas Bunda Mulia beberapa bulan lalu. Kita selama ini terlalu terfokus mengenali dan mengkhawatirkan monster yang ada di dalam diri orang lain (atau pasangan), terlupa bahwa ada banyak monster juga dalam diri kita sendiri. sebagian kita tidak sadari, sebagian lainnya kita pelihara sepenuh hati (dengan denial/enggan tidak mau berkonsultasi ke psikolog).

Di masa pacaran (dan awal menikah, khususnya jika Ngebetus Kawinus), para monster itu seringkali masih tertidur dan terabaikan. Dalam masa-masa berat, sulit, dan kritis-lah mereka biasanya terbangkitkan dan mulai menggaruk dengan kuku-kuku tajamnya. Upaya karantina/isolasi akibat pandemi Covid-19 ini bisa menjadi wakeup call besar-besaran yang membuka mata kita akan berbagai kecerobohan, ketergesa-gesaan, kebutaan kita dalam berelasi cinta dan berumah tangga.

Baca Juga:
Fenomena Ngebet Nikah: Apa dan Siapa Penyebabnya

Quarantine is stressful. It can have negative psychological effects including anger, confusion, and in some cases, post-traumatic stress symptoms,” kata David Cates, seorang psikolog dan direktur behavioral health di University of Nebraska Medical Center. “Relationships with a strong foundation will survive and may even flourish, whereas those characterized by poor negotiation skills, destructive communication, and lack of appreciation are more likely to buckle under the stress.

Jadi apakah upaya isolasi/karantina ini buruk dan menghancurkan rumah tangga?

Ya jelas tidak. Menurut saya itu adalah salah satu opsi terbaik dan saintifik yang tersedia saat ini. Bukan karantinanya yang membuat pasangan jadi bercerai; karantina itu hanya menciptakan kondisi stres besar dan berkepanjangan sehingga membuka berbagai masalah kronis yang dikubur selama ini.

Sebenarnya bukan isolasi/karantina saja yang membuat kita jadi sadar akan masalah dalam diri sendiri, pasangan, dan hubungan. Apa pun bentuk interaksi berduaan intensif selama 2-3 hari berturut-turut akan berpotensi meningkatkan awareness kita, karena mustahil kita kuat mempertahankan topeng untuk waktu yang lama. Pasti ada masa-masanya kita lelah/lengah sehingga keluar sisi diri yang kurang baik, bahkan keluar monster-monster yang kita baru tahu kita miliki..

Baca juga:
Bertengkar Dengan Pasangan? Mengalah Bukan Solusi

“Jauh sebelum target nikah, coba beberapa kali setahun untuk liburan ke luar kota menginap bareng pacar. Kalau tidak bisa nginap, lakukan kegiatan/permainan fisik yang menegangkan, menantang, dan melelahkan satu harian penuh. Kamu akan melihat banyak sekali informasi berharga tentang area ketidakcocokan dan potensi masalah yang akan kalian hadapi dalam rumah tangga nanti,” begitu saran saya pada setiap seminar edukasi pranikah.

Beberapa waktu yang lalu saya pernah baca beberapa studi dan kantor advokat yang melaporkan puncak jumlah kasus cerai biasanya terjadi setelah lewat festive holidays atau masa liburan panjang. Salah satu alasannya adalah karena pada masa liburan itu suami-istri jadi punya waktu bersama/berduaan yang lebih panjang daripada hari-hari normal, sehingga mereka tersadar akan banyaknya tekanan dan benturan luar biasa. Kondisi tersebut menggali frustrasi yang sudah terkubur sekian tahun, mendorong mereka untuk berpisah.

Jika ‘terperangkap’ berdua dalam kondisi libur/santai/senang² saja bisa membuka mata seperti itu, bisa dibayangkan dong efek akibat terperangkap dalam kondisi buruk seperti pandemi ini?

Saya percaya setiap tindakan pasti ada konsekuensi baik dan buruknya. Isolasi berpotensi mengungkapkan kondisi hubungan sebenar-sebenarnya. Rumah tangga yang sehat akan menemukan kembali ruang kepedulian, kehangatan, dan kebersamaan. Sementara rumah tangga yang kurang sehat akan dihadapkan pilihan untuk memperbaiki kesalahan selama ini ataupun bubar menyudahi.

Seorang pengacara memprediksi kemungkinan lonjakan permintaan cerai serupa terjadi juga di Inggris. Jujur saya ragu rumah tangga Inggris (atau negara-negara lain) akan ikut bergejolak demikian, karena fenomena itu bahkan tidak terduplikasi di banyak kota di China. Bahkan saya pribadi tidak yakin fenomena lonjakan cerai ini akan terjadi di Indonesia, mengingat orang Indonesia tidak punya ekspektasi/standar kesejahteraan hidup yang tinggi, bahkan sudah sebegitu terlatih hidup dalam pasung sengsara dan ketidakberdayaan. Ha! ?

On a serious note, saya rasa upaya isolasi/karantina tetap akan memberi tekanan tambahan pada rumah tangga di Indonesia. Di tengah ombak informasi yang datang silih berganti, sulit sekali bagi kita untuk benar-benar terhindar dari rasa cemas ataupun panik. Menurut saya, tidak apa-apa. Kedua hal itu adalah reaksi wajar sepanjang kita tidak berenang mengikuti ombaknya, berpikir pendek, dan mengambil keputusan berdasarkan insting.

Kita perlu mengarahkan konsentrasi dan energi untuk memedulikan hal yang benar-benar penting dalam hidup kita, seperti kesehatan tubuh, jiwa, serta kualitas hubungan/rumahtangga.

Mari kita jadikan momen mengurangi perkumpulan massal, jaga jarak, dan work from home ini kesempatan untuk merendahkan hati, mengevaluasi diri, merekonstruksi relasi.

Sudahkah kita jadi PRIBADI SEHAT DAN PASANGAN TERBAIK dalam hubungan kita?

Stay healthy, love better, live better.

REFERENSI:
➡️ Divorce Cases Spike In China
➡️ Smart Conflict Resolution
➡️ The Role of Stress in Divorce
➡️ Waktu Terbaik Untuk Menikah
➡️ Corona Virus Spark Rise In UK Divorce
➡️ KC STAR ?
➡️ Corona Virus Lockdown And Divorce
➡️ Relationship Blueprint
➡️ Self Isolations Could Stretch Marriage
➡️ Instagram Kelas Cinta
➡️ Negative Sentiment Override In Couples
➡️ Instagram Lex dePraxis
➡️ Back From Vacation, More Likely To Divorce
➡️ Complete Long Distance Relationship Guide
➡️ We All Have ‘Monsters’ Inside
➡️ Youtube Kelas Cinta
➡️ Parenting Burnout Destroying Marriage
➡️ Ngebetus Kawinus

Share the knowledge!