“Kekuatan cinta mampu menaklukkan segalanya.”
Slogan tersebut kerap melekat pada objek abstrak bernama cinta. Dan saya yakin slogan tersebut bukan hal yang asing lagi di telinga kita. Karena slogan tersebut sering digembar-gemborkan media mulai dari lagu, cerita, dan film terutama. Berapa banyak cerita yang mengisahkan persatuan dua insan yang dipisahkan oleh tembok keterbatasan? Mulai dari beda kasta sosial, beda tingkat ekonomi, beda negara, beda suku, tanpa terkecuali beda agama.
Perbedaan kasta sosial dan tingkat ekonomi bisa dipertipis jaraknya dengan berusaha menghasilkan harta yang lebih banyak dan menjalin networking yang lebih luas. Perbedaan negara, tidak menjadi masalah yang berarti jika Anda bisa fasih berbahasa asing dan memang Anda menyukai travelling. Perbedaan suku, mengingat sudah banyaknya hubungan silang antarsuku, maka kendala ini tidak menjadi tembok penghalang yang begitu besar. Walaupun implementasinya tidak selalu mulus. Nah, faktor perbedaan yang terakhir ini yang dirasakan sebagai tembok penghalang yang terbesar, perbedaan agama.
Saya paham betapa geramnya Anda ketika keinginan Anda untuk menjalin cinta terhalang karena perbedaan prinsip ini. Anda tidak sendiri, sebab saya pun pernah mengalaminya beberapa kali. “Bukankah cinta itu harusnya universal?”, ya itu adalah idealismenya. Tapi ada sesuatu di luar idealisme yang sialnya sering membuat sebuah idealisme yang tadinya ibarat singa, berubah jadi kucing.
Namanya adalah realita.
Kita hidup di negara yang menilai agama sebagai suatu hal yang sulit dikompromi, itu realitanya.
Berbeda dengan negara-negara maju yang budayanya dan pola pikirnya juga berbeda, bagi mereka agama adalah wadah untuk berkomunikasi secara spiritual, bukan kotak-kotak pembeda. Itu sebabnya bagi mereka hubungan berbeda agama bukan masalah besar. Lalu bagaimana dengan hubungan beda agama di budaya kita? Tanpa perlu panjang lebar saya jabarkan pun Anda sudah sering dengar dan bahkan mungkin mengalami sendiri.
Relationship dan pernikahan di budaya kita adalah penggabungan dua keluarga besar dan sangat kecil kemungkinannya sebuah pernikahan terjadi tanpa campur tangan orang tua. Orang tua berpikir secara tradisional dan menurut pengalaman mereka. Bagi mereka, hubungan seagama akan jauh lebih baik. Logis, karena sepaham maka proses adaptasi dapat dilakukan lebih cepat. Dan hal-hal bersifat administratif akan lebih mudah, jika sudah berkeluarga nanti pun anak tidak akan bingung menentukan harus ikut agama yang mana.
Seperti Anda ketahui, hubungan yang satu prinsip saja masih sering “diganggu” oleh faktor eksternal. Apalagi hubungan yang prinsipnya saja sudah berbeda?
Anda selalu punya hak untuk menjalani hubungan beda agama. Asal Anda sudah siap menghadapi rintangan yang menguras tenaga, pikiran, emosi, dan tidak jarang merayu Anda dan pasangan untuk mundur. Bila Anda sudah tahu bahwa kondisinya seperti itu, mengeluh menunjukkan bahwa Anda belum siap.
Nekat menjalani hubungan beda agama lalu mengeluh itu persis seperti orang yang ingin berenang namun mengeluh basah. Seakan-akan Anda tidak mengira bahwa berenang akan membuat Anda basah. Entah karena Anda naif atau menutup mata.
Coba cek hubungan Anda yang beda agama, apakah Anda sudah mengeluh?
Yuk lanjut juga baca artikel pencerahan ini: Apakah Nikah Beda Agama Adalah Masalah Besar?