“Abang ke mana aja dari tadi nggak ngabarin? Ini udah empat jam nggak ada kabar loh!” protes seorang wanita dalam pesan singkatnya ke sang kekasih.
Sang pria membalas, “Abang tadi lagi lembur. Kerjaan numpuk banget nih.”
Di lain kesempatan, sang wanita kembali mencari-cari sang kekasih.
“Sayang sudah pulang kantor? Kok pulang nggak ngabarin? Lagi apa? Lagi asik jalan-jalan sendiri ya?” tanya sang wanita curiga.
“Abang nggak pulang, Sayang. Hari ini kena jadwal jaga. Padahal tadi siang sudah dikabarin ‘kan? Wajib banget ya lapor 3 x 24 jam? Masih nggak percaya? Ya sudah kalau nggak percaya, nggak usah dilanjutin deh,” pria itu mulai dongkol.
“Bukan gitu Sayang, aku cuma pengen dikabarin. Itu ‘kan tandanya adek sayang banget sama Abang. Adek juga butuh Abang. Jangan marah gitu dong,” sanggah sang wanita.
Kewajiban untuk berkomunikasi dengan sangat intens sering menyulut konflik di pasangan tersebut. Wajib lapor minimal 3 x 24 jam, demikianlah yang harus dilakukan oleh sang pria terhadap pasangannya. Sang pria tak ubahnya tamu yang harus lapor ke satpam kompleks setiap jam.
Termasuk wajar atau tidak ya?
Kelakuan tersebut seringkali membuat salah satu pihak bosan dan kesal. Terlebih jika permintaannya juga diikuti kecurigaan-kecurigaan yang tak berdasar. Meskipun demikian, banyak yang beralasan kalau perlakuan itu semata-mata karena rasa sayang dan khawatir. Bahkan oleh rasa takut apabila pasangan sewaktu-waktu akan meninggalkannya.
Baca juga:
Kenapa Wanita Ingin Dimengerti (Pria)?
Pacaran? Anda Perlu Belajar Pura-pura Perhatian
Kenapa sih pasangan selalu ingin diberi kabar? Apakah mereka terlalu sayang, kangen, tidak percaya, atau karena hal-hal lainnya?
Nampaknya banyak yang tidak sadar bahwa menghubungi pasangan berkali-kali dapat mengganggu kehidupannya. Hal itu karena seseorang tidak bisa berfokus pada hal-hal lain di luar kehidupan romansa mereka. Alih-alih mengurangi perilaku ketergantungan, beberapa pasangan malah bertengkar dan mengakhiri hubungan mereka.
Dari mana perilaku ketergantungan tersebut berasal?
Peneliti terkenal bernama James Bowlby dan Mary Ainsworth menemukan bahwa cara seseorang mendapatkan kebutuhan di masa kecil sangat menentukan apa yang ingin mereka dapatkan dalam percintaan. Termasuk juga bagaimana orang lain memperlakukan mereka dan bagaimana cara mereka memperlakukan orang lain di masa dewasa. Penelitian itu dikenal sebagai Teori Kelekatan.
Menurut teori tersebut, ada tiga pola kelekatan yaitu pola aman, pola melawan/ambivalen, dan pola menghindar.
Dalam pola aman, anak percaya bahwa orangtua adalah figur yang selalu mendampingi, responsif, dan penuh cinta sehingga anak merasa aman. Sayangnya, hanya ada setengah populasi manusia di dunia yang memiliki pola kelekatan aman dengan orangtua mereka.
Baca juga:
Kenyamanan Adalah Musuh Dari Perubahan Anda
Apakah Melawan Orangtua Tanda Pria Dewasa?
Dalam pola ambivalen, seorang anak merasa tidak pasti bahwa orangtuanya selalu ada dan responsif. Akibatnya anak merasa takut berpisah dengan orangtuanya, sehingga cenderung bergantung dan menuntut perhatian. Sedangkan dalam pola menghindar, orangtua yang selalu menghindar dari anak akan menghasilkan anak yang memenuhi kebutuhan afeksi mereka sendiri tanpa bantuan orang lain.
Jika menilik teori kelekatan, pasangan yang selalu ingin dikabari cenderung memiliki pola ambivalen dalam pola kelekatan mereka dengan orangtua di masa kecil. Oleh karena itulah pasangan selalu menuntut perhatian dan insecure. Bahkan kebutuhan akan kelekatan tersebut membuatnya melakukan hal-hal bodoh seperti menghubungi pasangan berkali-kali atau menuntut pasangan untuk selalu mengatakan bahwa ia dicintai.
Menurut pakar percintaan, Kyle Benson, seseorang akan menghubungi pasangannya berkali-kali apabila merasa tidak nyaman dan tidak bisa memercayai pasangannya. Akhirnya timbul rasa panik sehingga menciptakan imajinasi bahwa pasangan akan pergi meninggalkan mereka.
Di samping itu, kelekatan juga bagai tombol darurat yang ada di dalam otak setiap manusia. Saat hidup terasa nyaman dan baik-baik saja, tombol darurat tersebut akan berada dalam kondisi tidak aktif. Sedangkan saat kejadian buruk terjadi, maka “tombol kelekatan” itu akan aktif secara spontanitas.
Contohnya seperti ketika seseorang merasa diganggu oleh orang lain atau mendapat tekanan dalam pekerjaan. Semua situasi buruk tersebut akan menciptakan kecemasan sehingga mengaktifkan tombol kelekatan dalam otaknya. Apa yang terjadi? Dia akan mencari kedekatan dengan orang lain untuk menghindari situasi semakin buruk.
Ternyata saat “tombol kelekatan” tersebut aktif, sinyal darurat dikirim ke seluruh bagian otak dan tubuh untuk fokus mendekat pada seseorang. Jika di masa kecil seseorang akan mencari kedekatan pada orangtua, maka di masa dewasa seseorang akan mencari kedekatan pada pasangan mereka. Sama halnya seperti orangtua, pasangan juga dapat memberikan kedekatan atau menolak kekasih mereka yang lagi butuh kedekatan.
Lalu siapa yang sering mengalami kecemasan dalam hubungan? Pria atau wanita?
Menurut pakar psikologi, Srinivasan S. Pillay, pria dan wanita memiliki pola kelekatan yang berbeda dalam percintaan. Pria cenderung menghindari perasaan keterikatan dalam suatu hubungan yang romantis. Pasalnya, keterikatan dalam suatu hubungan akan menimbulkan rasa takut akan kehilangan orang yang dicintai dan sebagainya. Oleh karena itulah pria seringkali terlihat cuek saat menanggapi pasangannya. Sebaliknya, wanita cenderung gampang merasa cemas dalam hubungan percintaan yang mereka jalani. Makanya banyak wanita yang bertubi-tubi menanyakan kabar pasangannya, sementara pria lebih adem ayem.
Baca juga:
3 Rasa Takut Yang Sering Membayangi Hubungan
Buang Rasa Takut Saat Pacaran
Meski begitu, pola kelekatan dapat diubah. Menurut penelitian, ada sekitar 30% dari populasi penduduk dunia berhasil merubah pola kelekatan mereka di masa kecil. Jadi, bukan tidak mungkin seseorang yang insecure berubah menjadi sosok yang mandiri ‘kan?
Ada beberapa cara yang dapat Anda lakukan untuk meminimalisir kecemasan dalam hubungan:
Pertama, dengan berfokus pada kebaikan-kebaikan diri. Pasalnya, seseorang yang merasa cemas atau insecure cenderung berfokus pada hal-hal negatif yang ada dalam diri mereka. Mulailah menyadari kebaikan-kebaikan diri secara spesifik; misalnya dengan bersyukur karena memiliki kepribadian yang baik, lucu, atau sebagainya.
Kedua, dengan membangun rasa percaya diri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang insecure cenderung memiliki rasa percaya diri yang rendah. Jika seseorang menggantungkan kebahagiaan sepenuhnya pada pasangan, maka pasangan pun akan capek karena merasa dituntut untuk membahagiakannya. Namun, apabila seseorang punya rasa percaya diri, niscaya pasangan lebih tertarik untuk senantiasa mendekat.
Ketiga, belajarlah untuk tidak terlalu bergantung pada pasangan. Jika Anda cukup mandiri untuk memenuhi semua kebutuhan, maka pasangan lebih nyaman menjalani hidup karena tidak merasa dituntut. Menjadi mandiri dan punya banyak kegiatan menarik di luar hubungan akan membuat pasangan menempel seperti prangko. Makanya jangan lupa meluangkan waktu untuk berkumpul dengan teman-teman, mandiri secara finansial, dan memiliki tujuan hidup yang jelas.
Yang terakhir adalah percaya pada diri sendiri. Merasa aman dalam suatu hubungan terkadang bergantung pada bagaimana cara mempercayai orang lain. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana cara mempercayai diri sendiri. Jika hubungan nanti berakhir, rasa percaya diri akan membuat seseorang mampu melewati fase patah hati dengan baik. Saat Anda memiliki rasa percaya diri, Anda dan pasangan akan merasa aman dalam berbagai macam kondisi hubungan.
REFERENSI
Recent Developments in Attachment Theory and Research
The Origins Of Attachment Theory: John Bowlby And Mary Ainsworth
Do Men and Women Have Different Romantic Attachment Styles?