Saat saya menulis ini, saya sudah menginjak usia 30 tahun. Umur di mana banyak wanita sudah menikah dan punya anak, termasuk teman-teman dekat saya.
And here I am.. Slurping coffee latte while pouring out my heart through this article.
Jujur, Saya Merasa Tertinggal
Sebenarnya rasa ketertinggalan ini sudah dirasakan sejak mereka serius menjalin hubungan dengan pasangannya. Ketika mereka menginjak usia 27-28 tahun, pasangan mereka sudah mulai menghubungi saya untuk ikutan memberikan kejutan saat marriage proposal.
Momen di mana sang pria berlutut, menawarkan cincin dan berkata “Would you marry me?” di depan semua orang terdekat mereka. Romantis ya?
Sedangkan saya berdiri di samping mereka, memegang balon dan party popper. Bersorak bersama teman-teman lain dan mengabadikan momen tersebut sambil mention mereka di social media.
Satu per satu teman saya mendapatkan marriage proposal-nya. Satu per satu pula mereka masuk ke tahap persiapan nikah. Mereka sibuk memilih gaun, survey gedung, memilih design undangan, memilih souvenir bersama pasangannya, keluarganya, bahkan terkadang dengan saya yang masih single.
Di hari-H pernikahannya pun saya diajak ikut serta untuk membantu keperluan mereka. Entah sudah berapa banyak momen di mana saya menjadi pengapit. Menemani mempelai wanita seharian full dari subuh hingga tengah malam untuk menjalani resepsi pernikahannya.
Mulai dari make up, pasang sepatu, memegang buntut gaun, membawakan makanan dan minuman, hingga membantunya untuk urusan WC. Bisa dibilang, saya sudah jadi professional brides maid.
Begitu menginjak kepala 3, satu per satu dari mereka sudah memiliki anak. Whatsapp Group sudah mulai sepi. Tapi sekalinya ramai, saya udah tau persis apa yang akan dibahas. Kalau gak anak, suami, ya mertua.
Dari anaknya yang udah bisa manggil “mama”, cek-cok kecil dengan suaminya, sampai perang dingin sama mertuanya.
Momen hangout juga sudah mulai sepi peserta. Satu per satu mereka absen karena harus mengurus anak, suami dan mertuanya. Waktu kita semua masih single dulu, kami masih ketemu setiap bulannya. Tapi sekarang, bisa hangout setahun sekali sudah syukur.
Semakin lama saya makin merasa ketinggalan. Semakin jauh. Semakin gak relate dengan teman-teman saya sendiri.
Dan saya rasa, bukan cuma saya yang ngerasa begini.
Jujur, Saya Merasa Kesepian
Weekend demi weekend saya lalui. Satu per satu teman-teman lama berubah jadi orang yang sibuk dan serius dengan kehidupannya.
Gak ada lagi yang jahil dan iseng. Gak ada lagi teman yang saling ngeledek dan berbagi gossip gak penting. Gak ada lagi teman gabut yang ngejalanin hidup seperti tanpa beban.
I really miss those moments.
Saya setuju apa kata orang-orang, “Semakin tua, rasanya semakin sulit untuk berteman.”
Bukannya saya menutup diri sampai gak punya teman baru. Saya gak begitu kok. Bahkan di antara teman-teman lain, saya termasuk salah satu yang aktif berkenalan dengan orang baru. Saya juga selalu punya teman jalan di setiap weekend. Dari yang baru saya kenal di socmed, sampai dengan dikenalkan dari teman lain.
Tapi saya gak bisa bohong, rasanya beda. Orang-orang itu bukan teman saya di masa sekolah dan kuliah dulu. Connections-nya terasa lemah.
Teman-teman baru itu gak tau apa yang benar-benar saya sukai dan apa yang tidak. Mereka gak tau cerita-cerita lama dan momen-momen special dalam hidup saya.
Mereka juga gak paham bagaimana cara menenangkan hati saya kalau lagi galau, lagi marah, dan juga kecewa. Entah kenapa, dari lubuk hati terdalam, saya cukup yakin kalau mereka juga merasakan hal yang sama seperti saya.
“Apakah Saya Harus Menikah Juga?”
Ketika muncul, rasa kesepian ini sepertinya bisa membunuh saya perlahan.
Absennya orang-orang terdekat yang sudah mengenal saya cukup lama membuat saya semakin dekat dengan pasangan saya.
Tidak ada pilihan lain. Hanya dia, orang terdekat yang saya miliki saat ini. Hanya dia yang paling mengerti saya. Hanya dia yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah dengan bebas. Karena teman-teman yang mengerti saya sudah sibuk dengan dunianya masing-masing.
Dan di saat rasa kesepian menghampiri, tiba-tiba ada yang berbisik di dalam kepala saya, “Apakah ini saatnya untuk menikah?”
Belum. Saya Belum Ingin Menikah.
Dari dulu saya memang gak tertarik nikah di usia muda. Saya punya banyak mimpi dan hal yang ingin dicapai selagi kondisi tubuh masih prima.
Lagipula, buat saya pernikahan itu sendiri gak lebih penting daripada kualitas hubungan saya dengan pasangan saya. Pernikahan buat saya pribadi hanya legalitas dari sebuah hubungan. Sisanya akan sama saja.
Tetap saja saya harus bekerja setiap hari untuk mencari nafkah. Pasangan saya bukan anak konglomerat yang bisa memenuhi setiap kebutuhan saya dan keluarga.
Tetap saja saya perlu menjaga hubungan dengan orangtua karena saya anak satu-satunya. Saya tidak bisa lari dari tanggung jawab saya untuk mengurus kedua orangtua saya.
Tetap saja saya harus mengurus keperluan saya sendiri karena saya mengutamakan kemandirian dan kebebasan. Saya tidak ingin kehilangan kemampuan saya untuk bertahan hidup dan kehilangan kebebasan untuk menentukan jalan hidup saya.
“Berkembang baik sebelum berkembang biak”
Coach Lex dePraxis
Malah, hubungan jadi semakin rumit begitu sudah menikah. Saya dan pasangan malah jadi harus memikul ekspektasi yang muncul setelah kami menikah nanti.
Kami jadi harus beradaptasi dengan keluarga satu sama lain yang notabene belum lama kami kenal. Bayangkan, saat menikah nanti, kita diharapkan bisa menganggap orang lain sebagai ayah dan ibu kita sendiri. Harus bisa peduli dan menyayangi keluarga pasangan seperti keluarga kita yang sudah kita kenal sejak lahir. Mebayangkannya saja sudah sulit.
Selain itu, begitu menikah nanti, kami juga jadi harus bisa mengelola konflik lebih baik. Jarak di antara kami akan semakin tipis. Satu rumah, satu kamar, satu ranjang. Kalau bertengkar, mau tidak mau kami tetap harus bertemu lagi. Bagi saya yang selalu butuh waktu untuk sendiri, saya benar-benar gak kebayang bagaimana rasanya ketika momen itu tiba.
Saya belum siap untuk beban dan ekspektasi extra dalam hidup saya.
Realita Pernikahan Tidak Seindah Kisah Fiksi
Selama berteman dengan orang-orang yang sudah berumah tangga, saya pribadi sudah ‘kenyang’ mendengar keluhan mereka tentang rumah tangga. Apalagi semenjak saya bekerja di Kelas Cinta. Curhat-curhat tentang rumah tangga di DM sudah jadi makanan sehari-hari saya dan team.
Banyak wanita yang akhirnya menikah karena merasa tertinggal oleh teman dan saudaranya. Merasa takut akan penghakiman dan pandangan orang tetang dirinya yang tak kunjung menikah. Merasa kesepian karena ditinggal nikah oleh orang-orang terdekatnya.
Pada akhirnya, wanita-wanita itu terjebak dalam pernikahan yang jauh dari harapannya. Pernikahan yang awalnya diharapkan bisa membawa warna di tengah kehampaan hidupnya, malah menjadi bara api di tengah kering hatinya.
Ini semakin membuat saya kokoh berdiri di atas pendirian saya untuk tidak menikah terlebih dahulu sebelum saya merasa siap dan puas dengan kehidupan di masa lajang.
Setiap kali saya merasa kesepian dan pertanyaan “Apakah ini saatnya untuk menikah?” muncul, saya mencoba untuk terus memberikan pertanyaan kepada diri saya..
“Apakah kualitas hubungan saya terus meningkat?”
“Apakah saya sudah memaksimalkan masa single saya?”
“Apakah saya pribadi sudah siap?”
“Bagaimana dengan pasangan saya?”
Jika jawabannya “Belum”, maka ini belum saatnya untuk menikah.
Remember, never let loneliness trap you.