Resepsi pernikahan. Menurut sebagian orang hal ini sudah menjadi salah satu syarat sah sebuah pernikahan. Tak jarang pula yang membuat resepsi pernikahan besar-besaran. Bahkan ada yang membuat pesta pernikahan hingga 7 hari 7 malam. Entah berapa banyak uang yang dihabiskan untuk menggelar acara tersebut. Padahal jika bertumpu pada nilai kesakralan, sebenarnya pernikahan adalah hanya tentang Ijab Qabul/Pemberkatan saja. Menikah tanpa resepsi bukan sesuatu yang wajib dalam agama. Undang-undang baik dari keagamaan ataupun negara juga sepertinya tidak mewajibkan hal tersebut. Tapi kenapa justru hal ini yang menjadi acuan atau nilai utama dalam sebuah proses pernikahan? Terlebih orang tua pada umumnya.
Kenapa saya bilang resepsi ini menjadi acuan atau nilai utama dalam sebuah pernikahan? Ya karena memang demikian kelihatannya. Pernah punya saudara, kakak atau siapapun dari keluarga kalian yang menikah? Coba tanyakan bagaimana menuju prosesnya. Hal tersulit yang mereka alami adalah ketika mempersiapkan pesta pernikahannya. Kalau benar seperti apa yang saya bilang, sekarang coba sandingkan sama pertanyaan ini. Kenapa sudah tahu sulit dan menjepit tapi tetap mereka paksakan ada dan bahkan harus ada?
Gampangnya begini, jika hal tersebut bukan nilai paling utama dari sebuah pernikahan, apakah harus memaksakan diri?
Kemudian dari mana datangnya nilai utama atau acuan tadi? Karena tradisi? Atau perintah agama? Atau syarat dari Departemen Agama? Yang jelas bukan ketiganya. Tapi lebih mengarah pada gengsi. Entah sejarah panjangnya seperti apa, yang jelas ini mengganggu pikiran saya untuk mencari tahu kekuatan serta kelemahannya. Mungkin jika saya diizinkan untuk mengarang sejarahnya. Ceritanya akan seperti ini.
Dahulu kala ada seseorang raja biasa saja dan raja sangat kaya. Si raja biasa saja ini memiliki anak semata wayang. Si anak tidak manja karena tahu bapaknya sederhana. Dia tidak pernah meminta apapun dari bapaknya. Sampai akhirnya anak sang raja ini dilamar oleh seseorang. Karena anak yang amat sangat disayang ini tidak pernah minta apapun, akhirnya dibuatlah pesta kecil untuk merayakan pernikahan si anak. Maksud hati sang ayah adalah memberikan hadiah perpisahan sebelum si anak dibawa pergi oleh suaminya kelak.
Kemudian, berita pesta ini terdengar sampai telinga raja yang sangat kaya. Konon, pada zaman kerajaan, persaingan adalah segalanya. Sehingga hal kecil berupa sebuah pesta saja bisa menciptakan prahara. Tidak ada kerajaan yang ingin terlihat lebih kecil dari kerajaan lainnya. Apalagi untuk kerajaan yang sangat kaya. Hanya untuk lebih baik dari sang rival yang biasa saja, bukanlah hal yang mustahil.
Akhirnya sang raja yang amat sangat kaya ini menikahkan anaknya dengan seorang pangeran dari kerajaan yang rajanya sangat pelit. Sang raja kaya tidak peduli dengan bagaimana pelitnya kerajaan tempat asal si pangeran. Di benaknya, dia tidak mau kalah sama si raja yang biasa saja itu. Diadakanlah pesta besar-besaran saat anaknya menikah. Maksud dan tujuannya adalah untuk mengalahkan pesta raja biasa saja. Apakah dia berhasil?
Jelas! Dia kaya, siapa yang tidak membicarakan dia dengan pesta luar biasanya itu. Apakah ceritanya berakhir di sini? Belum.
Pangeran yang menikahi anak raja kaya tadi ternyata memiliki adik. Adiknya iri melihat pesta perkawinan kakaknya yang sungguh luar biasa meriah. Kemudian dia mengajukan permintaan kepada ayahnya yang pelit. Awalnya si raja pelit menolak perihal pesta pernikahan yang diminta oleh anaknya itu. Tapi si adik pangeran tidak kehabisan akal. Dia mencoba dengan cara membanding-bandingkan kerajaan ayahnya dengan kerajaan ayah mertua si kakak. Kembali lagi tentang polemik kerajaan, yaitu tidak pernah ingin terlihat kalah. Si raja pelit mulai tersinggung dan tidak terima. Akhirnya luluhlah kemerkian sang raja pelit tadi dengan alasan tidak mau kalah dengan kerajaan kaya banget dan biasa saja. Digelar pesta yang tidak kalah meriah saat anaknya menikah. Tujuannya hanya ingin menunjukkan pada rivalnya “kalo saya juga bisa, bro!”
Seiring berjalannya waktu, akhirnya kebiasaan menghambur-hamburkan uang tersebut mendarah daging. Makin tersebar luas dan akhirnya bertahan sampai hari ini.
Saya coba tarik beberapa celoteh perempuan yang pernah saya dengar perihal pesta pernikahan yang mereka impikan. Adakah dari kalian yang sering mendengar perempuan berucap ‘ih saya mau nanti resepsi saya dibuat kayak gini’ atau bahkan kalian sendiri yang mengucap demikian? Dari sini terhubungkah dengan cerita karangan saya tadi soal resepsi pernikahan? Perkara gengsi ingin dilihat ‘lebih’ bagus dari orang lain.
Tapi tujuan saya panjang lebar tadi adalah bukan ingin mendiskreditkan orang-orang yang menganggap resepsi itu penting. Karena semua orang tidak akan pernah bisa membohongi dirinya sendiri perihal gengsi ‘saya harus bisa lebih dari dia’.
Beberapa waktu lalu, saya dikejutkan dengan sebuah tweet dari panutan saya, Kei Savourie. Dia menikah tanpa resepsi. Pernikahannya hanya terdaftar di catatan sipil alias sah di mata negara. Dan uang yang harusnya digunakan untuk resepsi itu dimanfaatkan untuk traveling ke London dan Islandia selama 18 hari. Wow!
Saya membaca itu langsung terpikir ‘akhirnya saya nemu arah melempar ketidaksetujuan saya soal resepsi pernikahan nih’. Saya sudah lama mencari jawaban dari beberapa hal yang kurang saya suka perihal resepsi ini.
Pertama soal hambur-hambur uang. Kamu cari uang siang, malam, kehujanan, kepanasan, pusing, dimarahi dan dengan segala macam bentuk kesulitannya itu, cuma habis dalam waktu satu hari dan sebagian besar bukan ‘kepuasan’ yang kamu cari?
Kedua, pasti sangat merepotkan keluarga, khususnya orang tua. Omong kosong ketika orang tua tidak ikut andil mengurusi resepsi pernikahanmu. Sudah dari kapan kamu merepotkan orang tua? Apakah sampai ingin membuat keluarga untuk diri kamu sendiri saja, kamu masih ingin merepotkan mereka?
Ketiga adalah masalah pribadi saya saja, sih. Perihal restu, tidak perlu mengadakan pesta pun orang yang tahu kamu ingin menikah pasti merestui. Misal, kamu cuma mau ijab qabul/pemberkatan. Percaya sama saya kalau orang tidak akan protes sampai ‘ah gak sah nih gak ada pestanya’. Tidak akan! Kalau ada yang protes demikian pun, menikah tanpa resepsi tidak akan mengubah status kamu di catatan sipil bahwa kamu dan pasangan resmi sebagai suami istri.
Sekarang menurut kalian lebih baik mana? Menikah dengan resepsi atau menikah tanpa resepsi tapi mengalokasikan biaya resepsi untuk hal lain yang bernilai lebih ‘mahal’?
Kita telisik, yuk.
Dengan menikah tanpa resepsi dan mengalokasikan biaya resepsi ke hal lain, kamu sama saja melindungi diri sendiri. Kamu melindungi diri kamu untuk tidak merepotkan orang tua pun keluarga. Kamu melindungi hak atas uang yang kamu cari sendiri dengan cara bersenang-senang yang sepenuhnya adalah keinginan kamu. Kamu juga punya cerita berhari-hari soal cara kamu menikah. Berhari-hari loh, tidak hanya 1 hari atau bahkan hanya 2-3 jam pesta. Lebih terasa kan, pengalaman seumur hidupnya?
Udah panjang lebar dan sudah pasti kelihatan intinya, kan?
Mungkin kalian berpikir, apa bedanya dengan bulan madu?
Menurut saya jelas berbeda. Sebab dari hitungan biaya pun kalian tidak perlu berpikir 2 kali. Untuk resepsi dan bulan madu. Cukup sekali dari biaya yang tidak seharusnya kalian hambur-hamburkan. Meskipun tujuannya tetap menghamburkan uang. Tapi kembali lagi pada cara kalian mengalokasikan biaya resepsi tersebut. Ada banyak cara, kok.
Jadi sudah adakah bayangan akan traveling kemana atau tetap dengan resepsi yang megah model seperti apa?
Kita kalkulasi sedikit biaya resepsi dan biaya traveling. Biaya resepsi paling minim adalah 30 juta, sepengetahuan saya. Uang 30 juta kalian bawa eksplore Jawa Timur bisa seminggu. Mungkin malah tersisa banyak. Tidak usah berpikir pergi ke luar negeri dulu. Tapi jika memang mau ke luar negeri, Thailand bisa jadi destinasi bagus. Seminggu bersenang-senang hanya bersama dengan partner ketempat yang diinginkan. Tanpa paksaan maupun tekanan apalagi bayang-bayang merepotkan keluarga. Lebih luar biasa dari pesta sehari atau 2-3 jam yang kamu bayangkan itu loh.
Tadi saya sempat sharing sama ibu saya soal menikah tanpa resepsi. Dan saya mendapati jawaban yang sungguh menarik untuk dibahas. Beliau bilang begini:
“Itu berarti kamu gak mau bagi-bagi kesenengan sama orang lain dong?”
Ibu saya ini orangnya luar biasa detail kalau diajak curhat. Makanya saya senang curhat dengan beliau. Dan dengan pertanyaan tadi saya pun menjawab begini.
“Bukan gak mau berbagi kesenengan sama orang lain mah. Tapi apa salah kalo aku menyenangkan diri sendiri dulu sebelum bikin orang lain senang? Dan kalo tujuannya buat bikin orang lain senang, bukannya jauh lebih baik kalau pesta diganti sama kegiatan amal? Jauh lebih bikin orang lain senang kan? Bermanfaat pula. Dan yang pasti gak ngerepotin orang lain buat mikir harus kondangan berapa duit nih. Ya, gak?”
Akhirnya ibu saya diam lalu menyerahkan semua kembali ke saya.
Dari atas sampai bawah sini nih saya belum memberikan cara bagaimana yang demikian bisa terwujud. Sebab ini berkaitan dengan 2 keluarga sih. Mungkin jika cuma kita dan partner saja bisa mengeksekusi dengan baik. Tapi keluarga kita? Atau lebih sulitnya keluarga partner? Belum tentu bisa terima begitu saja. Apalagi perkara sesuatu yang kelihatannya adalah sebuah kewajiban utuh.
Nah ini tugas dari kita masing-masing mau menempuh dengan cara yang seperti apa untuk meyakinkan bahwa menikah tanpa resepsi itu juga baik dan tidak mengurangi esensi dari pernikahan itu sendiri.
Spread the love!