Jika saya bertanya ke sepuluh orang soal definisi cinta: “Cinta asalnya dari mana?”
Saya yakin sekitar sembilan orang akan menjawab: “Dari hati!” Jarang sekali ada yang menjawab “Dari otak!”
Jangan-jangan Anda juga berpikiran sama?
Hati seringkali diartikan sebagai emosi, perasaan, hati nurani, dan sebagainya. Makanya Anda sering membaca kata-kata seperti “Cintaku tulus dari hati”, “Dasar kamu gak punya hati!”, atau “Hatiku lega mendengarnya”. Padahal jika Anda dulu tidak ketiduran saat guru Biologi mengajar di sekolah, Anda tentu paham kalau hati tidak ada hubungannya dengan cinta.
Coba buka Google dan cari penjelasan ilmiah tentang hati, apa ada yang menyangkutpautkan dengan cinta? Apa itu juga ada hubungannya dengan definisi cinta? Saya jamin tidak ada. Hati adalah organ tubuh yang berfungsi menetralisir racun di tubuh. Titik. Mana ada hubungannya dengan cinta?
Emosi yang Anda rasakan semuanya diproses di otak Anda. Ketika Anda bertemu dengan orang yang disuka, otak mengeluarkan hormon oksitoksin dan serotonin yang membuat Anda ingin TERUS bersamanya, TERUS menghubunginya, dan TERUS memikirkannya. Dengan kata lain, oksitoksin yang membuat Anda jatuh cinta.
Sebaliknya, ketika Anda mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan (ditolak gebetan, misalnya), otak mengeluarkan hormon kortisol yang membuat Anda merasa jengkel, cemas, dan depresi.
Baca juga:
Putus Cinta? Jangan Berpikir Sendirian
Di mana peran hati? Tidak ada sama sekali!
Jadi mulai sekarang lempar jauh-jauh definisi cinta berasal dari hati, kecuali Anda hobi membuat puisi dan mendongeng untuk anak-anak. Tentu mereka bakalan pusing kalau mendengar penjelasan ilmiah di atas.
Tapi kenapa kalau senang dan sedih rasanya sesak di dada?
Itu bukan tanda hati nurani yang suci, tapi karena emosi memengaruhi detak jantung di dada. Kalau Anda duduk berdua dengan gebetan yang sudah Anda incar sejak lama, jantung pasti rasanya deg-degan kesenangan. Begitu pula bila Anda sedih karena diputus mantan, jantung seperti mau melompat keluar.
Makanya ada beberapa kasus orang yang terkena serangan jantung karena terlalu senang atau depresi. Itu semua disebabkan jantung bekerja terlalu keras hingga akhirnya berhenti total. Jika jantung Anda terus berdegup kencang, hati-hati Anda bisa saja terkena serangan jantung. Jangan dianggap sebagai hati nurani yang suci!
Bila Anda melihat “hati” hanyalah proses otak dan hormonal, segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta akan jadi lebih mudah. Terutama jika Anda sedang patah hati.
Kenapa lebih mudah?
Karena Anda jadi bisa mengatasi masalah NYATA dengan SOLUSI NYATA. Bukan dengan ide yang abstrak. Hormon di otak adalah sesuatu yang nyata dan terbukti ada, sedangkan HATI NURANI YANG SUCI adalah sesuatu yang sulit dijelaskan. Bagaimana Anda mau menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hati kalau dasarnya saja sulit dipahami?
Misalnya, Anda lagi stres dan sedih karena ditinggal mantan menikah. Di titik ini, kadar serotonin menurun drastis sehingga Anda jadi tidak nafsu makan, malas gerak, dan murung seharian. Jika Anda tahu ini hanyalah proses hormonal dalam otak, maka Anda tinggal melakukan kegiatan yang dapat merangsang serotonin naik kembali.
Anda bisa membaca buku, menonton seharian, bermain video game, nongkrong bareng teman-teman, dan kegiatan lain yang menyenangkan. Kalau perlu, Anda bisa konsultasi ke profesional atau membaca ebook Move On Dalam 30 Hari agar otak Anda yang berkabut bisa jernih kembali.
(Sssst… ebook-nya bisa Anda dapat lewat LINK di bawah)
Kalau pikiran sudah cukup tenang, giliran tubuh Anda diberi perhatian. Paksa diri untuk tetap makan teratur biar sehat, paksa diri berolahraga untuk melancarkan peredaran darah sehingga Anda bisa tetap relaks, dan paksa diri untuk tidur yang cukup untuk mengurangi kadar depresi Anda. Tubuh yang sehat akan menyehatkan pikiran Anda pula. Semuanya saling berkontribusi untuk kesehatan masing-masing.
Jika Anda menganggap patah hati sebagai HATI NURANI yang terluka, maka dijamin Anda tidak akan melakukan tindakan apa-apa. Ketimbang melangkah maju, Anda malah berpuisi ria “Inilah penderitaan cinta” dan mengurung diri sambil mendengarkan lagu-lagu patah hati. Ujung-ujungnya fisik Anda yang kena akibatnya karena Anda tidak mau makan, tidak mau tidur, dan tidak mau berolahraga. Hati-hati Anda bisa tambah depresi dan berakhir bunuh diri.
Analoginya seperti ini …
Si A mengalami kecelakan sampai kakinya patah. Kakinya dipasang pen dan dibalut gips. Biar cepat sembuh, dia rutin minum obat-obatan yang diberikan dokter plus makan makanan bergizi. Dia juga rajin mendatangi dokter tulang untuk mengetahui kondisi kakinya.
Si B juga mengalami kecelakaan dan kakinya patah pula. Namun, dia tidak pergi ke dokter, tidak makan makanan bergizi, dan tidak bertindak apa-apa selain mengurung di rumah, menyesali kenapa sampai kecelakaan.
Menurut Anda mana yang paling cepat sembuh? Si A atau B? Sudah pasti si A, kecuali si B itu Wolverine yang bisa sembuh sendiri tanpa obat.
Baca juga:
Pria vs Wanita: Mana Yang Lebih Cepat Move On
Proses sembuhnya memang tidak instan, tapi yang melakukan “pengobatan” PASTI lebih cepat sembuh ketimbang yang tidak. Agar Anda lebih paham, coba kita ganti ke subjeknya patah hati.
Si A patah hati. Dia paham patah hati cuma masalah hormonal di otak, lalu dia konsultasi ke profesional, pergi jalan-jalan ke luar negeri, olahraga di gym, makan makanan sehat, tidur teratur, nongkrong bareng teman-temannya, dan kegiatan lain yang intinya bersenang-senang.
Bandingkan dengan si B yang patah hati, tapi mengurung diri di kamar, nangis tiap malam, tidak mau makan, tidak mau tidur, dan tiap hari berteriak “Inilah penderitaan cintaaaaa!” Sudah jelas si A lebih cepat move on daripada si B.
Makanya jangan salah lagi mendefinisikan “hati” sebagai cinta karena salah definisi cinta bisa berujung salah tindakan.
Klik e-book di bawah ini untuk langkah pasti hari demi hari!
Referensi:
[1] The Science Behind a Broken Heart