Lika-Liku Pernikahan Beda Agama Di Indonesia

Reza dan Kristina sudah menjalin hubungan cinta selama 4 tahun. Keduanya saling mencintai dan sangat cocok dalam segala hal; komunikasi, intelektual, emosional, semuanya klop seperti sudah jodoh dari sananya. Semua orang iri melihat kemesraan mereka. Namun, kebahagiaan tersebut harus berakhir tragis karena kedua orangtua tidak menyetujui atas dasar agama mereka yang berbeda. Mereka berdua diancam bakal diusir dari rumah bila berkeras menikah. Akibat tekanan datang bertubi-tubi dari keluarga dan saudara, akhirnya Reza dan Kristina menyerah. Dengan hati hancur, mereka terpaksa membuang seluruh jerih payah dan kebahagiaan mereka demi memuaskan keegoisan kedua orang tua.

Cerita di atas adalah potret kecil kisah romansa beda agama yang dialami oleh banyak sekali pasangan di Indonesia. Di negara yang (katanya) menghargai perbedaan, ternyata masyarakatnya masih jumpalitan menyikapi persoalan tersebut. Di tingkat pacaran saja sudah banyak yang melarang, apalagi bila dibawa ke jenjang perkawinan.

Kalau Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda, lalu mengapa mereka harus mengorbankan kebahagiaan hanya karena perbedaan? Bukankah itu sama saja melawan karunia Tuhan? Jangankan manusia yang mengalaminya, Tuhan pun bersedih melihat perpisahan itu!

Bukan hanya masyarakat yang menentang, bahkan hukum negara pun sepertinya ikut tidak berpihak. Di satu sisi, pemerintah menjamin kebebasan beragama yang tertulis di Pasal 29 UUD 1945. Di sisi lain, Pasal 1 UU Perkawinan justru membatasi dan mempersulit orang untuk menikah. Negara terlihat plin plan tidak jelas dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.

Dibalik pro dan kontranya, mari kita telusuri terlebih dahulu mengapa dua orang yang berbeda agama amat sangat sulit bersatu di Indonesia.

Dulu Indonesia Membolehkan Perkawinan Beda Agama!

Anda pasti terkaget-kaget membacanya. Ya, Anda tidak salah baca. Sebelum pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No.1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan, ternyata Indonesia lebih terbuka soal perkawinan beda agama. Bahkan KTP zaman dulu tidak mencantumkan agama. Itu artinya kantor catatan sipil tidak ikut campur memusingkan preferensi keyakinan orang lain.

via Twitter

Perkawinan beda agama pernah diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158. Pada Pasal 1 berbunyi: “Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.” Lalu Pasal 1 tersebut didukung oleh Pasal 7 yang tertulis: “Perbedaan agama, suku, bangsa, atau keturunan sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan.”

Dari kedua pasal tersebut, diketahui bahwa Ordonansi Perkawinan Campuran tidak melarang perkawinan dua orang dari agama yang berbeda. Anda boleh menikah dengan siapa saja meski berbeda suku dan bangsa. Kalau melihat keadaan bangsa Indonesia saat ini, sepertinya sulit ya percaya kalau dulu masyarakat kita pernah jauh lebih toleran?

Jadi sebenarnya sejak kapan kita alami pergeseran hingga akhirnya sampai di titik sekarang?

Ada banyak sekali titik pergeseran, salah satunya gejolak kecil yang tercatat pada 1950-an. Waktu itu beberapa ormas melakukan protes di jalan karena khawatir adanya kristenisasi terselubung akibat perkawinan beda agama. Hal itu memicu perundingan pemerintah tentang perlunya UU Perkawinan yang baru. Setelah proses 20 tahun yang alot, akhirnya lahir UU Perkawinan yang dianggap memperbaiki undang-undang yang sebelumnya kita adopsi dari Belanda. Pada tahun 1974, Pemerintah Orde Baru mengesahkan UU Perkawinan baru yang berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” [1]

Di satu sisi, UU baru itu berhasil meredakan kekhwatiran yang ada. Namun, harga yang harus dibayar dari UU tersebut adalah masyarakat Indonesia jadi terkotak-kotak dan terpecah belah hingga saat ini. Sebelumnya masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam agama yang bisa membaur dengan mudah dalam ikatan perkawinan. Kehadiran UU ini bukan saja menghambat asimilasi budaya, tetapi juga memelihara sentimen antar kelompok (cemas dipengaruhi pindah agama, khawatir tercemar, dst).

Dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik, jelas Ordonansi Perkawinan Campuran lebih cocok. Perkawinan beda agama adalah salah satu cara ampuh untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama.

Apa Perkawinan Beda Agama Dilarang Di Indonesia?

Harus Anda ketahui bahwa ada dua pernafsiran yang berbeda dalam UU Perkawinan. Yang pertama, perkawinan beda agama dianggap melanggar UU No. 1 Pasal 2 ayat 1 karena di pasal tersebut berbunyi: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi apabila hukum agama melarang, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah secara hukum negara. [2]

Sedangkan yang kedua, perkawinan beda agama dianggap tidak melanggar UU. Ichtijanto, pakar hukum keluarga dari Universitas Indonesia, mengatakan, “Tidak betul UU Perkawinan itu melarang perkawinan antara manusia beda agama.” UU Perkawinan tidak membahas perkawinan lintas agama, bahkan bagian Perkawinan Campuran pasal 57-62 pun hanya berisi tentang perkawinan beda kewarganegaraan. Bagian itu tidak menjelaskan apa pun tentang perkawinan lintas agama, jadi nikah beda agama bukanlah masalah. [3]

Dua interpretasi yang berbeda membuat orang bingung dan ikut membantu mempertajam sentimen antar agama. Pemerintah terlihat setengah hati dalam mengatur perkawinan warganya. Jika pemerintah melarang perkawinan beda agama, maka itu melanggar hak asasi manusia yang tercantum pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia oleh PBB yang berbunyi: “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa tanpa dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka punya hak yang sama dalam soal perkawinan, dalam masa perkawinan dan disaat perceraian.”

Deklarasi tersebut menjelaskan bahwa menikah adalah hak siapa saja, termasuk yang berbeda agamanya. Apa Anda rela kebebasan itu direnggut hanya karena UU Perkawinan yang masih simpang siur dan tidak jelas itu?

Manfaat Di Balik Ancaman

Meskipun cocok diterapkan, banyak orang belum siap menerima perkawinan beda agama. Anda harus siap tidak direstui orangtua, dikucilkan keluarga, diusir dari rumah, dan bahkan diancam masuk neraka. Kelas Cinta menyadari adanya tekanan-tekanan tersebut, namun kita semua perlu tahu bahwa perkawinan beda agama memiliki efek positif yang sangat besar dampaknya dalam jangka panjang.

“Kalau orangtuanya beda agama, kasihan anaknya bakal bingung mau ikut yang mana.”

Itu adalah opini paling umum seputar membesarkan anak dari pernikahan beda agama. Tentu hal itu masalah besar bagi orang berpikiran dangkal. Namun, masalah itu bisa sirna bila Anda dan anak Anda memiliki pendidikan yang baik. Jika anak dibekali proses berpikir yang sehat, dia  bisa lebih cerdas menghadapi perbedaan, bahkan lebih toleran ketimbang anak dari orangtua yang beragama sama. Tidak ada lagi penindasan terhadap anak yang berbeda agama.

via Tirto.id

Agama adalah urusan pribadi dengan Sang Pencipta, tugas orangtua adalah mendidik agar anak bisa berpikir dan memilih agama yang terbaik untuknya. Kalau dia ingin mengikuti agama pasangan Anda, ya silakan. Anda tidak bisa memaksanya mengikuti Anda. Itu akan menciptakan konflik yang tidak perlu, dan menjauhkannya dari pasangan Anda.

Susan Katz Miller dalam bukunya “Being Both: Embracing Two Religions in One Interfaith Family” mengatakan bahwa: “Sebagai orangtua, pada akhirnya Anda tidak bisa mengendalikan identitas anak-anak Anda. Mereka akan menemukan agama yang sesuai ketika sudah mampu membuat pilihan sendiri. Hal tersebut jauh lebih baik daripada memaksa anak untuk mengikuti agama tertentu.” [4]

Dengan adanya perbedaan agama di keluarga, anak jadi terekspos dengan berbagai sudut pandang dan cara menghadapi kehidupan. Misalnya: untuk menyelesaikan sebuah masalah, agama A memiliki teknik 1, sementara agama B memiliki teknik 2. Kedua-duanya merupakan teknik yang efektif untuk menyelesaikan masalah, hanya caranya yang berbeda. Sang anak jadi terbuka dan terdidik untuk selalu penasaran mencari solusi daripada memaksakan satu cara saja.

Ketika beranjak dewasa, dia sudah terbiasa menyikapi perbedaan cara dan keragaman berpikir di lingkungan. Dia tidak akan kolot dan merendahkan orang-orang berbeda agama, sehingga rasa toleransi di masyarakat pun meningkat. Ketidakmampuan bertoleransi dapat mendorong anak menjadi sosok fanatik, anarkis, dan ekstremis.

Masyarakat yang terkotak-kotak biasanya sulit bekerja sama, apalagi UU Perkawinan tersebut membatasi gerak kerja sama antar kelompok. Masing-masing hanya berpikir untuk melindungi dan menyejahterakan kelompoknya sendiri. Salah satu kelompok akan membesar sehingga tercipta blok mayoritas dan minoritas. Itu adalah tanah yang subur bagi pertumbuhan sikap diskriminasi dan intimidasi, baik disadari maupun tidak.

Silakan googling berita Indonesia belakangan ini. Kita pasti tidak kesulitan untuk menemukan berita seputar diskriminasi di atas. Masing-masing pihak merasa dirinya yang dikorbankan dan menuding pihak lain sebagai penindas. Masyarakat Indonesia jadi sulit berbagi tanah, air, dan udara dengan saudaranya sendiri. Kita mudah sekali cemas dan terpelatuk ketika melihat kelompok lain dari agama yang berbeda.

Seandainya pemerintah Indonesia membebaskan urusan perkawinan beda agama seperti tertulis di Ordonansi Perkawinan Campuran, benturan dan sekat-sekat antar kelompok bisa diminimalkan. Dalam “American Grace”, Robert Putnam menjelaskan bahwa perkawinan beda agama telah meningkatkan toleransi umat antar kelompok di Amerika. Perkawinan campuran membuat kedua pasangan lebih memahami agama masing-masing. Kematangan pemahaman agama masing-masing itulah yang memampukan pernikahan harmonis. [5]

Meski perkawinan campuran tidak secara langsung mengurangi penindasan, setidaknya masyarakat jadi lebih terbuka menyikapi perbedaan. Kita jadi damai hidup berbagi ruang dan lebih fokus bekerja sama dalam menciptakan masyarakat madani (civilized society). Sebagai bonus, pemerintah pun jadi tidak sibuk dengan urusan gejolak antar kelompok yang eksklusif, sehingga bisa fokus menyelesaikan masalah yang lebih krusial seperti kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan rakyatnya.

Seperti dijelaskan pada poin sebelumnya, kita tahu bahwa perkawinan campuran dapat meningkatkan toleransi di masyarakat. Namun, tahukah Anda kalau tingkat toleransi suatu negara bisa memengaruhi perekonomiannya?

Jika sebuah perusahaan fokus pada kemampuan berkontribusi tanpa memedulikan afiliasi agama, maka perusahaan itu bisa lebih produktif mencapai target finansial. Mengesampingkan perbedaan merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan yang lebih tinggi. Bayangkan bila masyarakat di Indonesia memiliki sikap toleransi menyerupai analogi perusahaan tadi. Tidakkah kita dapat jadi produktif mengentaskan kemiskinan? [6]

Kita ambil contoh Singapura sebagai negara yang terkenal netral dalam urusan agama. Wilayah Singapura jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia, namun perekonomian negara itu jauh lebih makmur. Hal itu dikarenakan pemerintah Singapura fokus meningkatkan SDM dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bukannya mengurusi agama yang dianut warganya. Mengutip kata PM Lee, “Pemerintah tak boleh masuk ke kawasan agama dan agama tak boleh masuk ke kawasan Pemerintah.” [7]

Memang ada banyak jalan menuju Indonesia yang sejahtera, kami percaya bahwa perkawinan campur adalah salah satunya. Perkawinan campur melahirkan anak-anak yang toleran dalam menghadapi perbedaan. Di masa depan, mereka akan menjadi pemimpin yang menerbangkan Indonesia seperti negara-negara maju lainnya.

Proses transformasi di atas jelas membutuhkan waktu yang cukup panjang. Mungkin beberapa generasi ke depan masih harus bergejolak mengalami proses tersebut. Namun, efek jangka panjangnya, perkawinan campuran membuka pintu bagi peningkatan produktivitas dan pertumbuhan perekonomian.

Sebaiknya Diteruskan Atau Dihentikan?

via Idea Champion

Apakah Anda sedang menjalani hubungan beda agama?

Dalam romansa, mengelola kebersamaan jauh lebih penting daripada meributkan perbedaan agama. Ada jutaan pasangan di luar sana yang beragama sama tetapi tidak mengerti cara membina hubungan. Itu membuktikan kalau agama bukanlah patokan agar hubungan bahagia. Jika kalian sudah saling cocok, mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing, berkomitmen untuk pantang mundur menghadapi semua resikonya, dan SUNGGUH yakin kalau perkawinan itu dapat membuat kalian bahagia, maka silakan teruskan hubungan kalian! Bukankah Tuhan pun bahagia bila Anda bahagia?

Nah, sekarang Anda tahu bahwa ada interpretasi hukum yang mengatakan UU Perkawinan Indonesia tidak melarang perkawinan beda agama. Ada lubang besar di undang-undang ini yang bisa diakali demi mendapatkan status perkawinan yang sah di pengadilan.

Profesor Wahyono Darmabrata, seorang Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, mengatakan ada 4 cara yang bisa ditempuh untuk melangsungkan perkawinan beda agama:

  1. Perkawinan menurut masing-masing agama.
  2. Meminta penetapan pengadilan.
  3. Penundukan sementara pada salah satu hukum agama.
  4. Menikah di luar negeri. [8]

Meski ada yang bilang keempat cara itu termasuk bandel mengakali hukum, banyak orang merasa itu adalah solusi terbaik untuk saat ini. Setidaknya sampai pemerintah memiliki struktur hukum yang lebih jelas. Kalau sampai untuk menikah saja harus mengakali hukum, bukankah ini membuktikan betapa absurdnya hukum perkawinan beda agama di Indonesia?

Tahun 2015 lalu, beberapa orang sudah mengajukan keberatan dengan UU Perkawinan yang tidak pro pasangan beda agama. Namun, MK menolaknya dengan alasan undang-undang tersebut sama sekali tidak melanggar konstitusi. Padahal keempat cara mengakali hukum di atas tidak mungkin ada apabila UU Perkawinannya sudah beres.

Seiring perkembangan zaman, pemerintah mau tak mau harus merevisi seluruh hukum perkawinan. Mengapa demikian? Karena daripada mempersulit, pemerintah seharusnya membantu memberikan kemudahan bagi masyarakatnya yang ingin menikah beda agama. Indonesia tidak hanya terdiri dari satu kelompok saja, melainkan banyak kelompok agama dan yang berbeda. Membina rumah tangga dengan kelompok lain justru seharusnya didukung oleh pemerintah. Bukankah pengotak-ngotakan agama seharusnya menjadi sesuatu yang ditinggalkan?

Kami tidak menutup mata kalau perkawinan beda agama memang sulit dilakukan. Ada sejumlah hambatan seperti kurangnya dukungan orangtua, sulitnya mengurus dokumen perkawinan, friksi dari nilai-nilai keagamaan, dan perbedaan kultur yang saling berseberangan. Rintangannya sulit, tetapi bukan berarti tidak mungkin dilaksanakan. Ada orang-orang yang berhasil membuktikan bahwa perkawinan beda agama dapat berjalan lancar dan bahagia. Perbedaan iman bukan halangan bagi mereka untuk bersatu. Mereka ada banyak, Anda hanya jarang mendengar kisah-kisahnya.

Achmad Nurcholish, misalnya. Saat hendak menikahi pasangan yang berbeda agama, banyak orang yang menghujatnya habis-habisan. Itu menginspirasinya mendirikan lembaga Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang telah menikahkan 638 pasangan beda agama di tahun 2015 lalu. Anda bisa mengunjungi website-nya untuk menambah wawasan seputar perkawinan beda agama di sini.

Lain lagi dengan pasangan Suparman dan Nancy. Meski berbeda agama, mereka berhasil mempertahankan perkawinan sampai 51 tahun dengan dua sumber kekuatan ini: toleransi dan saling menerima [9]. Charolinna Wibowo, mahasiswi magister UIN Sunan Kalijaga, dalam tesisnya mengatakan bahwa keluarga beda agama dapat jadi harmonis karena komunikasi yang sehat, saling menghormati kebebasan beribadah, dukungan ekonomi yang cukup, dan yang terpenting restu kedua keluarga. Sedemikian kuatnya kekuatan dukungan keluarga, itu bisa mengharmoniskan perkawinan dari agama yang berbeda. [10]

Konflik muncul ketika masing-masing orang ngotot merasa agamanya yang paling benar dan merendahkan agama lain. Jadi rumah tangga bermasalah bukan karena beda agamanya, melainkan karena kengototan orang-orang di dalamnya. Memiliki agama yang sama pun percuma jika kedua orangnya keras kepala. Sikap terbuka dan toleransi itulah yang dilakukan oleh para couples seperti Nurcholish, Suparman, Nancy, dan lebih dari 600 pasangan lainnya yang sukses menjalani rumah tangga beda agama.

Coba Anda pikirkan lagi: jika ada satu juta pasangan beda agama, maka di masa depan akan ada setidaknya satu juta anak yang lebih toleran dan tidak hidup dalam kotak-kotak prasangka. Kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada sikap fanatik dan ekstremis yang sudah terbukti merusak tenun kebangsaan dan kemanusiaan di seluruh dunia. Semua orang Indonesia akhirnya bisa hidup berdampingan dengan damai.

Indah, bukan?

Jadi, jika Anda sedang menjalani hubungan beda agama, silakan maju karena misi Anda mulia. Jika sahabat Anda menjalani hubungan beda agama, beri tepukan di bahu agar mereka tidak menyerah, ingatkan bahwa mereka tidak sendirian, dan tunjukkan artikel ini ke mereka. Tuhan menciptakan cinta untuk menyatukan manusia, bukan untuk memisahkan!