Apa Menjadi Childfree Adalah Hal Yang Egois?

Home Articles Apa Menjadi Childfree Adalah Hal Yang Egois?
Share the knowledge!

“Jadi childfree egois banget karena gak mau punya anak,” ujar seorang netizen. “Dia cuma mementingkan dirinya sendiri. Gimana dong kalau bangsa ini punah?”

Komentar-komentar sejenisnya bisa Anda temukan di akun orang-orang yang memutuskan tidak mau punya anak. Komentar di atas masih tergolong santai dibandingkan ratusan komentar lainnya yang menegangkan urat saraf. Di Indonesia, memang rada sulit untuk berpikir berbeda dengan orang kebanyakan. Ujungnya-ujungnya kalau tidak di-bully, palingan bakal ditanya agamanya apa—meskipun tidak ada hubungannya sama sekali.

Keinginan untuk tidak punya anak—bahasa kerennya, childfree—sebenarnya bukan hal baru di Indonesia, bukan juga karena pengaruh budaya asing seperti yang digembar-gemborkan orang. Hanya saja, karena istilah childfree baru meledak di jagat maya, akhirnya banyak yang kaget dengan keberadaan para childfree ini.

Sesungguhnya, childfree tidak ada sangkut pautnya dengan tingkat keegoisan. Hanya karena orang childfree ingin hidup bahagia tanpa terbebani anak, tidak otomatis membuatnya lebih mementingkan diri sendiri ketimbang orang lain. Pakar sosiologis Robert Reed berujar, “Tidak ada studi empiris yang menunjukkan orang-orang childfree lebih egois daripada orang yang memiliki anak.” Orang-orang childfree juga mementingkan orang lain, tidak cuma ke dirinya sendiri. Mereka sama seperti Anda dan jutaan manusia lainnya. Yang membedakan cuma pola pikir saja.

Baca juga:
Pria Egois Yang Menarik Wanita

Apa Yang Harus Kamu Lakukan Ketika Pasangan Menuduh Kamu Egois?

Jadi, tidak ada buktinya kalau orang childfree punya kadar egois lebih tinggi. Bila Anda masih menganggapnya begitu, sebaiknya masukan anggapan itu ke plastik lalu lempar ke tempat sampah.

Tapi mengapa banyak yang menganggapnya demikian?

Nyaris semua budaya menganjurkan manusia untuk berkembang biak. Melahirkan anak berarti menjaga keberlangsungan hidup manusia sekaligus membawa kebaikan ke muka bumi; siapa tahu saat anak itu tumbuh dewasa, ia akan menjadi orang berguna di mata dunia. Makanya para orang tua selalu mendoakan bayi yang baru lahir agar kelak menjadi orang yang bermanfaat bagi sesamanya. Lagipula orangtua mana yang berharap anaknya menjadi sampah masyarakat.

Budaya yang sudah bercokol selama berabad-abad itu menjadi norma tak tertulis di masyarakat. Mereka melihat bahwa orang dewasa—apalagi yang sudah menikah—sudah seharusnya memiliki momongan untuk meneruskan keberlangsungan hidup manusia. Jika Anda sengaja tidak ingin punya anak, maka Anda dianggap tidak meneruskan cita-cita mulia itu. Anda pun dicap sebagai manusia SUPER EGOIS.

Baca juga:
Fenomena Ngebet Nikah: Apa dan Siapa Penyebabnya

Pernikahan Bukan Perlombaan, Jangan Ngebet Ngebut!

Penelitian berjudul Parenthood as a Moral Imperative? Moral Outrage and the Stigmatization of Voluntary Childfree Women and Men juga menyuarakan kesimpulan yang sama. Penelitian itu mengatakan bahwa selama 3 dekade ini, orang yang sengaja tidak punya anak selalu dipandang rendah oleh masyarakat. Masa depan mereka dianggap suram dan dinilai egois karena kegiatan mereka cuma bersenang-senang.

Makanya jangan heran bila banyak orangtua yang ingin menggendong cucu secepatnya. Mereka tidak ingin anak-anaknya dipandang rendah orang lain, sekaligus menghindarkan mereka dari bahan cibiran.

Meskipun banyak tekanan bertubi-tubi, survei yang dilakukan beberapa peneliti seperti Tomas Frejka (Peneliti dan penulis Childlesness in United States) dan Tomas Sobotka (Peneliti dari Vienna Institute of Demography) menemukan bahwa jumlah orang yang tidak ingin punya anak semakin bertambah setiap tahunnya. Keinginan untuk childfree didasarkan pada berbagai macam alasan seperti khawatir tidak bisa memberikan fasilitas yang layak untuk anak, keuangan yang mepet, pekerjaan yang mengharuskan berpindah-pindah lokasi, lingkungan yang tidak memungkinkan (misal: konflik perang, tinggal di lingkungan kumuh), dan belasan lainnya.

childfreeYang pasti, kebanyakan alasan di atas bukan karena takut dirinya tidak bisa bersenang-senang bila punya anak, tapi takut anak bakal lahir dengan beban dari orangtuanya. Para childfree merasa alangkah egoisnya mereka bila memaksa punya anak, tapi kondisinya masih serba kekurangan. Apalagi membesarkan anak sangat membutuhkan tanggung jawab, perhatian, fasilitas, dan biaya yang luar biasa besarnya.

Baca juga:
Kebutuhan Anak Yang Wajib Dipenuhi, Orangtua Wajib Baca!

2 Alasan Sebaiknya Kamu Menunda Anak Setelah Menikah

Amerika sebagai negara maju saja masih ada yang menganggap pelaku childfree sebagai orang egois, apalagi di Indonesia yang masyarakatnya super maju. Anda bisa melihatnya sendiri dari komentar para netizen yang banyak meremehkan orang-orang yang memutuskan childfree. Jika Anda masih tidak percaya, coba tulis ini di timeline atau grup Whatsapp keluarga Anda: “Saya memutuskan tidak mau punya anak agar fokus ke kebahagiaan diri sendiri.” Resiko tanggung sendiri.

Jika Anda penganut childfree, apa yang bisa Anda lakukan agar tidak dinilai egois oleh orang lain?

Sebenarnya nyaris mustahil seorang childfree bisa lepas dari penilaian egois. Tak peduli meskipun Anda menunjukkan ratusan penelitian dan fakta bahwa childfree tidak egois, Anda akan TETAP dinilai egois oleh orang lain. Sekali lagi, penilaian itu muncul karena norma yang mewajibkan punya anak sudah sedemikian erat mencengkram orang-orang di lingkungan Anda.

Karena tidak bisa dihindari, satu-satunya yang bisa Anda lakukan adalah dengan mengontrol diri Anda sendiri. Jangan langsung bersikap defensif apalagi membalas frontal ketika orang-orang menyebut Anda egois atau sebangsanya. Semakin keras Anda melawan, itu semakin mengukuhkan penilaian mereka terhadap Anda. Jadi tahan mulut dan jempol Anda yang ingin melawan komentar-komentar mereka.

Kesalahan fatal yang sering dilakukan para penganut childfree adalah mereka balas mengatakan bahwa punya anak merupakan bentuk keegoisan tertinggi. “Buat apa melahirkan anak di dunia yang sudah dipenuhi jutaan anak? Itu lebih egois namanya,” begitu komentar yang paling sering muncul di akun pro childfree garis keras.

Saling tuduh menuduh seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah; justru malah menghasilkan debat kusir yang membuat sakit mata. Yang didapat cuma capek dan dering notifikasi tanpa henti.

Anda juga tidak perlu meyakinkan mereka bahwa childfree memiliki simpati dan empati yang sama seperti orang pada umumnya. Anda cuma membuang-buang waktu. Daripada meyakinkan mereka lewat kata-kata, jauh lebih baik bila Anda menunjukkannya lewat tindakan.

Misalnya: Anda bisa berpartisipasi di kegiatan sosial yang tujuannya memperbaiki pendidikan di kawasan miskin ibukota. Upload kegiatan Anda ke Instagram atau Facebook, biarkan orang-orang melihat kerja nyata Anda. Pelan tapi pasti, penilaian-penilaian miring tentang Anda akan berkurang dengan sendirinya.

Rajut ini baik-baik di pikiran Anda: selama Anda masih bernapas, penilaian itu TIDAK MUNGKIN hilang. Akan SELALU ada orang-orang yang menghakimi Anda. Yang bisa Anda lakukan cuma menguranginya lewat tindakan. Jumlahnya memang tidak akan berkurang drastis, tapi setidaknya masih bisa Anda toleransi.

Dengan membiarkan kerja nyata Anda dilihat banyak orang, secara tidak langsung Anda membuktikan bahwa menjadi childfree tidak serta menjadikan Anda egois. Justru karena Anda childfree maka Anda punya banyak waktu untuk meringankan kesulitan orang lain. Anda bahagia karena membantu orang, orang lain pun bahagia karena dibantu Anda. Win-win solution.

Kesimpulannya, jika keputusan childfree membuat Anda lebih bahagia, lebih santai, dan lebih bisa membantu orang lain, maka jangan khawatir dengan penilaian negatif dari orang lain. Hidup Anda adalah pilihan Anda. Jangan sampai karena terus mengikuti kata orang, akhirnya batin Anda tersiksa dan tidak menikmati hidup yang usianya kurang dari 100 tahun ini.

Terus bagaimana kalau hubungan dengan pasangan jadi rusak karena salah satu pihak tidak ingin punya anak, sedangkan satunya lagi ingin beranak pinak?

Ini salah satu masalah rumit ya. Saya tidak bisa menjelaskannya di sini karena artikel ini akan berlarut-larut panjangnya. Tapi Anda yang ingin belajar mengatasinya bisa dengan cara mendaftar KC STAR; online course berisi ratusan materi ilmu cinta. Anda bisa mempelajari banyak hal tentang cinta, termasuk:

  • Bagaimana menghadapi konflik hubungan dengan pasangan tanpa mengorbankan salah satu atau kedua pihak
  • Bagaimana menciptakan kemesraan ketika hubungan terasa dingin dan membosankan
  • Apa yang harus Anda persiapkan sebelum menikah agar pernikahan berjalan langgeng selamanya
  • Langkah apa yang harus Anda lakukan agar bisa move on dari mantan
  • Bagaimana cara keluar dari hubungan yang salah dengan resiko seminimal mungkin
  • Dan ratusan solusi masalah cinta Anda

Semua itu bisa Anda pelajari dalam bentuk video, audio, dan ebook yang tersedia di KC STAR. Bahkan Anda bisa ikut gathering Kelas Cinta yang diadakan setiap bulan secara gratis. Anda bisa menanyakan solusi masalah cinta dengan lebih rinci ke Coach Lex dePraxis, Coach Kei Savourie, dan Coach Jet Veetlev.

Untuk mendaftar KC STAR, silakan klik LINK di bawah:

OKE SAYA MAU MENDAFTAR KC STAR

REFERENSI

[1] Childlesness in United States
[2] Fertility in Europe: Diverse, Delayed, and Below Replacement
[3] Parenthood as a Moral Imperative? Moral Outrage and the Stigmatization of Voluntary Childfree Women and Men
[4] “You’re Selfish!” Childfree Myth, Busted

Share the knowledge!