Sekolah Cinta, Perlukah?

Kelas Cinta is a big joke. Cinta kok belajar, pakai ada teorinya segala? Cinta harusnya alami aja!” demikian kira-kira ucapan seorang tokoh di media sosial. Kebetulan ia memiliki follower yang banyak, hasilnya twit tersebut langsung terseret ombak besar retweet ke mana-mana. Ujung-ujungnya buihnya pun sampai ke saya lewat ‘cc: @lexdepraxis’ yang dilaporkan oleh orang-orang yang mengenal saya.

Pesan bernada serupa juga sering dicetuskan orang di dunia nyata, baik langsung pribadi pada saya maupun lewat gosip publik. Rata-rata meledek para pria dan wanita yang mengikuti pelatihan dan sesi konseling tentang hubungan cinta di Kelas Cinta.

Nah, kalau boleh jujur saya sangat setuju dengan pesan demikian.

Sungguh!

Saya setuju hubungan cinta seharusnya tidak perlu dipelajari. Cinta seharusnya tidak perlu dianalisa atau dibedah jadi teori-teori rumit. Setiap usaha melogikakan dan merumuskan cinta seharusnya dianggap sebagai kegiatan yang absurd.

Menurut saya, siapa pun yang berniat meneliti cinta seharusnya dipenjara karena telah menistakan dan menghina cinta. Seseorang profesor yang mempelajari cinta seharusnya dibakar hidup-hidup karena dia sama seperti tukang sihir yang menyesatkan banyak orang. Cinta adalah perasaan suci yang seharusnya sudah dipahami oleh setiap manusia secara alami, tanpa perlu disistemisasi sebagai ilmu pengetahuan.

Manusia seharusnya bisa membangun hubungan cinta dengan baik tanpa perlu memiliki pengetahuan dan pelajaran apa pun tentang cinta.

Ya, seharusnya begitu.

Sayang sekali, realita berkata sebaliknya:

Itu baru sebagian kecil saja, masih ada banyak hal-hal yang lebih mengerikan lagi seperti Anda bisa lihat dari kliping gambar berikut ini.

Realitanya kita perlu (banyak) belajar tentang hubungan cinta.

ANTARA SEHARUSNYA DAN SEREALITANYA

Menilik kehidupan cinta saya pribadi saja sudah ada sekian belas hal yang seharusnya tidak terjadi, tapi tetap terjadi. Saya yakin kehidupan cinta Anda juga melalui banyak sekali belokan dan tikungan yang seharusnya tidak terjadi. Kalau percintaannya mulus-mulus saja, sudah pasti Anda tidak membaca artikel ini.

Saya, Anda, dan seluruh manusia di bumi ini seolah terkutuk jutaan kemalangan yang seharusnya tidak dialami, sebagai akibat dari Adam dan Hawa yang terlalu kepo memakan buah apel di taman Eden yang seharusnya tidak dimakan itu. Ya, seharusnya kita bisa menyalahkan ini semua pada Adam, Hawa, dan sang iblis yang menawarkan buah tersebut.

Coba saya daftarkan beberapa hal-hal yang seharusnya terjadi sesuai ekspektasi banyak orang:

Sampai detik ini saya sudah menjalani profesi sebagai life & relationship coach selama lebih dari lima belas tahun. Hari demi hari, minggu demi minggu, tahun demi tahun saya melayani sesi konsultasi dengan klien yang menangis karena kehidupan cintanya yang tidak berjalan seperti seharusnya. Apa pun kisah cinta sedih serta mengerikan yang pernah Anda dengar, saya sudah mendengarnya jauh lebih parah, jauh lebih banyak, dan jauh lebih sering.

Hal tersebut tidak hanya terjadi di dalam sesi konsultasi saya dan kehidupan Anda, tapi juga terjadi hampir di seluruh kehidupan semua orang. Para ahli budayawan menyatakan bahwa budaya populer adalah cerminan realita yang terjadi di masyarakat luas.

Coba lihat lirik lagu Naff yang berjudul Seharusnya Kita: “Seharusnya dunia ini begitu indah. Seharusnya hidupku ini penuh bermakna. Takkan gundah jiwaku bila kau bersamaku.” Atau simak juga suara galau Glenn Fredly ketika menyanyikan Pengakuan Lelaki: “Seharusnya aku menjadi kebanggaan untuk dirimu kasih, namun ku menggoreskan luka yang terdalam takkan hilang.” Bisa Anda bayangkan sendiri betapa merananya kalau kenyataan tidak sesuai ekspektasi.

Kenyataan (pahitnya) adalah realita hubungan cinta banyak melenceng dari ekspektasi-ekspektasi kita yang seharusnya di atas. Saya dan Anda sudah mengakuinya. Para musisi pun sudah menyanyikannya. Ini adalah rahasia realita yang kita ketahui bersama, tapi sedikit yang berani mengakui.

Kehidupan sehari-hari ini diwarnai dengan hal-hal yang tidak seharusnya: kelalaian, kesalahan, keanehan, ketimpangan, kecacatan, dan kejutan-kejutan di luar ekspektasi. Hubungan cinta pun yang seharusnya damai, indah dan alamiah seringkali jadi periode yang penuh derita, luka dan darah.

Mulai dari sekedar hampa di dada karena rasa kesepian, sesak minder karena takut mendekati orang yang disukai, kecewa karena diberikan harapan palsu, trauma karena diselingkuhi, sampai berbagai sakit hati dan sakit fisik karena perilaku kasar yang seharusnya tidak dilakukan oleh sang kekasih tercinta.

Seharusnya tidak banyak orang yang daftar konsultasi Love & Trauma dengan saya. Seharusnya tidak banyak orang yang mengikuti konseling Break-Up Survival Guide dengan Kei Savourie. Seharusnya tidak banyak orang yang mengikuti kelas pelatihan hubungan cinta di Kelas Cinta. Seharusnya tidak banyak orang yang mengkonsumsi produk edukasi cinta di Kelas Cinta. Seharusnya juga tidak banyak e-mail kesuksesan dan kebahagiaan dari para klien kami setelah mengikuti hal-hal tersebut.

Rasanya kita perlu untuk lebih sedikit mengoreksi diri dan menjadi realitistis dalam mempelajari cinta agar bisa terhindar dari berbagai malapetaka cinta.

PENTINGNYA BELAJAR CINTA SESUAI REALITA

Melogikakan hubungan cinta bukan berarti merendahkan cinta. Memahami mekanika jatuh cinta sama sekali tidak memengaruhi keindahannya saat terjadi. Menciptakan sistem teori cinta tidak menjadikan kita terputus dari perasaan dan kaku hidup di dalam peraturan ini-itu. Sebuah ‘sekolah cinta’ tidak membuat hubungan cinta Anda jadi penuh teori yang tidak alami.

Justru sebaliknya, pengetahuan ilmu cinta bisa membuat kita lebih dewasa dan cekatan mengoperasikan hubungan.

Saya beri satu contoh ilmu ya.

Anda pasti sudah pernah baca tulisan saya tentang cinta sebagai kelekatan yang timbul akibat dari pengaliran sumber daya pribadi pada satu individu tertentu. Semakin Anda menghabiskan investasi waktu, tenaga, dan uang untuk mendekati seseorang, maka Anda akan semakin merasa cinta pada orang tersebut. Walau mungkin awalnya tidak tertarik, jika Anda menghabiskan banyak hal dengannya cepat atau lambat hati Anda terikat padanya.

Sesuai pepatah bijak, hati Anda ada di mana harta Anda berada.

Nah bagaimana memanfaatkan ilmu di atas dalam realita sehari-hari?

Anda bisa minta gebetan bantu menyelesaikan tugas sederhana. Esok harinya, berkonsultasilah tentang sesuatu yang agak rumit tapi sudah menjadi bidang keahliannya. Besoknya lagi, minta dia temani Anda ke sebuah tempat. Demikian seterusnya, Anda tinggal mengajukan permintaan demi permintaan kecil, sambil tak lupa mengucapkan apresiasi setelahnya.

Seiring banyaknya dia berusaha mengiyakan permintaan Anda, cinta tumbuh perlahan-lahan di hatinya. Bahkan seringkali tanpa dia sendiri menyadarinya.

Sesederhana dan seampuh itulah ilmu cinta. Mungkin terkesan terlalu sederhana, tapi strategi itu sudah ribuan kali saya praktekkan. Bukan saya saja yang berhasil, ribuan orang yang mencobanya juga mendapatkan hasil gemilang.

Nah, ilmu cinta di atas sangat menjelaskan mengapa ada fenomena ‘temen jadi demen’, mengapa orang yang anti-selingkuh bisa jadi selingkuh, mengapa kehangatan jadi memudar, dan sebagainya. Para pasangan yang sudah memahami definisi cinta di atas jadi mampu menghindari kegiatan yang merusak hubungan. Jika pasangan Anda sedang akrab dengan seorang lawan jenis lain, ingatkan dia tentang teori ini agar dia tidak terjerumus lebih jauh lagi.

Para pasangan yang tahu teori cinta jadi tahu apa yang harus dilakukan ketika hubungan mendingin. Sesuai teori, Anda dan kekasih tinggal menambahkan saja jumlah investasi masing-masing. Bila investasi sudah seimbang, keduanya akan menikmati kembali rasa cinta yang kembali panas dan bergairah.

Pada awalnya, memahami teori memang terasa rumit. Tapi setelah paham, menjalani hubungan terasa lebih mudah dan alamiah. Coba evaluasi deh, semenjak rajin baca-baca Kelas Cinta, hidup dan hubungan Anda terasa lebih ringan ‘kan?

KOK ORANG DULU BAHAGIA TANPA BELAJAR CINTA?

“Coach Lex, kakek-nenek saya gak belajar apa pun soal cinta tapi bisa langgeng hepi aja sampai tua tuh!” sanggah beberapa orang yang suka menyanggah demi terlihat pintar.

Ya benar, generasi kakek-nenek dan orangtua kita biasanya menjalani hubungan cinta dengan sederhana. Namun, hal itu dikarenakan dunia mereka pada saat itu memang masih sederhana apa adanya. Semenjak akhir era 90-an, dunia ini mengalami banyak sekali perubahan pola budaya dan teknologi yang memengaruhi dinamika hubungan cinta.

Berikut saya beri beberapa contohnya:

Poin-poin di atas membuat kita mengerti bahwa  cinta tidak pernah berubah, selalu sama dari dulu hingga sekarang. Namun, keadaan zaman dan pola interaksi manusianya yang berubah, bergeser, dan bertambah rumit. Itu sebabnya kesederhanaan membina hubungan cinta yang dialami oleh kakek-nekek dan sebagian orangtua kita adalah hal langka di era modern ini.

Mereka tidak perlu belajar cinta karena jika hubungannya berkendala, mereka memaksakan diri mencari jalan keluarnya. Berbeda dengan pasangan modern yang saat berkendala, biasanya sibuk saling menyalahkan lalu masing-masing berusaha mencari jalan keluar dari hubungan dan berpindah ke hubungan lainnya.

Kemajuan budaya memberi banyak kenikmatan, tapi juga mengacaukan dan menyabotase banyak hubungan cinta. Khususnya jika kita malas meng-update peta pemahaman kita tentang cinta. Berkonsultasi pada kakek-nenek dan orangtua seringkali tidak memberi jawaban, malah membuat makin frustasi karena sulit menjelaskan kondisi hubungan zaman modern ini pada mereka.

Itu sebabnya sekolah cinta menjadi sebuah kebutuhan yang mau tidak mau terjadi di zaman modern ini. Dunia ini sudah berkembang keterlaluan cepatnya sehingga kita perlu belajar bagaimana mengoperasikan cinta di dalamnya.

 PELAJARAN CINTA TERAKHIR HARI INI

Kita perlu berani keluar dari zona nyaman demi mempelajari cinta dari kacamata keilmuan modern. Mari saya jelaskan sesederhana mungkin dalam satu contoh berikut.

Berdasarkan penelitian Kent Berridge dari Universitas Michigan tentang korelasi kecanduan dan hormon dopamine, bermain Twitter itu bisa sangat mencandu. Alasannya adalah tubuh kita kebanjiran hormon dopamine setiap kali kita melihat ada mention atau reply. Sebenarnya fenomena itu tidak khusus terjadi pada Twitter saja, melainkan pada bentuk interaksi apa pun yang terjadi secara teks visual, seperti chatting, obrolan di Facebook, balas-membalas di email, dan sebagainya. [8]

Seorang peneliti lain yang ilmunya banyak saya pakai dalam Kelas Cinta, Helen Fisher dari Universitas Rutgers, juga menyatakan bahwa otak orang yang sedang mengalami jatuh cinta selalu dibanjiri dengan dopamine. Hormon itulah yang membuat saat jatuh cinta tubuh kita terasa selalu energik ingin bertemu tapi sekaligus juga rileks melayang bahagia ala kecanduan obat. [9]

Silangkan kedua penelitian tersebut dan Anda bakal paham mengapa zaman sekarang ini banyak hubungan cinta terjadi di aplikasi chatting dan media sosial. Anda bisa mengerti kenapa banyak orang yang mengaku jatuh cinta di dunia online dan jadian tanpa pernah bertemu dulu. Anda juga  tahu kenapa banyak orang selingkuh dengan seseorang nun jauh di sana pada dunia maya padahal sudah punya pasangan yang baik.

Ya, fenomena yang terakhir itu seharusnya tidak terjadi.

Seharusnya tidak terjadi.

Seharusnya.

Tapi demikianlah yang terjadi setiap hari pada orang-orang di sekeliling saya. Demikian pula yang terjadi pada orang-orang di sekeliling Anda. Tentunya juga pada Anda dan saya, jika kita terus bebal dan enggan mempelajari dinamika cinta.

Mulai sekarang mari kita berhenti bicara cinta-seharusnya, dan menggantinya dengan cinta-serealitanya.

REFERENSI

[1] Biar Gak Selingkuh, Seks Harus Kreatif

[2] Kekerasan Dalam Relasi Pacaran Masih Tinggi

[3] Angka Perceraian Indonesia Tertinggi di Asia Pasifik, Masa Depan Anak-anak Indonesia Dipertaruhkan

[4] Gejala Kasus Kekerasan Terhadap Istri Bisa Dilihat Saat Pacaran

[5] Miris, Ada 259.150 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Setahun Lalu

[6] WCC: Kasus Nikah Sirri dan Perselingkuhan Di Yogyakarta Tinggi

[7] 75% Kekerasan Saat Pacaran Akan Berlanjut Di Rumah Tangga

[8] Why We’re All Addicted to Texts, Twitter, and Google

[9] Love, Actually: The Science Behind Lust, Attraction, and Companionship