Jika buka media sosial akhir-akhir ini, Anda pasti pernah membaca percakapan pria yang ngebet mengajak nikah seorang wanita muda. Ya memang pria itu tidak melamar secara langsung, melainkan lewat WhatsApp Messenger. Terkesan tidak gentle, tetapi sepertinya banyak wanita mengagumi itu.
Namun, jodoh tidak ada yang tahu. Gayung pun disambut: wanita itu menerima lamarannya dengan senang hati! Langit bersorak-sorai dan para netizen ikut bersuka cita. Puji-pujian mengalir deras dan ribuan orang jadi termotivasi untuk melakukan hal yang sama.
Baca juga:
Kamu Gentlemen, atau Gentle Men?
Benar-benar keputusan yang sangat berani, sekaligus ceroboh di saat yang sama.
Mengapa saya katakan berani? Karena wanita itu secara sukarela bersedia mengarungi kehidupan pernikahan dengan orang yang belum dikenalnya.
Coba bayangkan: Ketika Anda pergi ke Indomaret untuk membeli sabun mandi, tiba-tiba ada orang mendekati Anda. Tanpa basa-basi, orang tersebut memegang tangan Anda lalu berkata, “Apa kamu mau menikah denganku?” Jangankan diterima, Anda pasti langsung berteriak histeris dan memanggil sekuriti. Otak Anda langsung dipenuhi rasa was-was dan curiga. Jangan-jangan ini orang gila atau ingin berbuat jahat.
Bila dipikir dengan akal sehat, menikahi orang asing resikonya sangat besar. Anda tidak tahu asal usulnya dan Anda juga tidak tahu apakah calon pasangan Anda adalah orang yang berbahaya atau tidak. Proses pacaran masih dibutuhkan karena itu adalah satu-satunya jalan untuk mengenal pasangan lebih jauh.
Baca juga:
Cinta? Entar Aja Deh Tunggu Mau Nikah
Masa Pacaran: Semua Jelek-Jeleknya Ketahuan
Tapi lucunya, bagi orang Indonesia logika tersebut tidak berlaku kalau urusan pernikahan. Semakin cepat semakin baik. Kalau serius, lamar saja. Kalau cinta, nikahin saja. Tidak masalah baru kenal tiga hari, tidak masalah belum pernah ketemu, yang penting nikah! Begitulah semboyan yang berkumandang di mana-mana.
Anda tahu seberapa beresikonya menikah dengan orang asing?
Di Pekalongan pada tahun 2015 yang lalu, terjadi kasus seorang suami yang membakar istrinya hidup-hidup hanya karena cemburu. Mereka berdua baru menikah selama seminggu dan tanpa melalui proses pengenalan sama sekali. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata sang suami memiliki kondisi kejiwaan yang tidak stabil dan cenderung psikopat.
Jelas ada yang salah dengan pola pikir masyarakat. Menerima lamaran dari orang asing malah dianggap wajar. Kejadian itu membakar semangat banyak pria untuk segera menikahi pujaan hatinya. Anehnya, para wanita juga mendukung tindakan itu.
Baca juga:
4 Tanda Pacar Anda Psycho
3 Ciri-Ciri Hubungan Yang (Bisa Jadi) Berbahaya
Apa mereka tidak sadar bahayanya? Butuh berapa ribu kasus pembakaran lagi untuk menyadarkan mereka?
Jika kita kembali ke viral WhatsApp di atas, maka akan timbul pertanyaan di benak kita: kenapa orang Indonesia begitu ngebet nikah sampai mengesampingkan resiko? Apa dan siapa yang menyebabkan masyarakat kita menjadi seperti itu?
Budaya Ngebet Nikah: Tradisi Kuno Yang Dilestarikan Oleh Ekonomi Dan Pendidikan Rendah
Indonesia adalah negara agraris, kita sudah mendengar istilah ini sejak dari Sekolah Dasar. Secara geografis, Indonesia terletak pada daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi dan iklim yang stabil sehingga tanahnya subur luar biasa. Jadi wajar kalau sejak zaman baheula, penduduk Indonesia bekerja di bidang pertanian atau bercocok tanam.
Kerajaan Majapahit mampu bertahan selama 200 tahun karena membangun masyarakat penghasil beras. Dan dari sejak zaman Majapahit hingga saat ini, kondisinya masih kurang lebih sama (meskipun sekarang kita lebih banyak impor daripada ekspor beras). Badan Pusat Statistik mencatat 31,74 persen angkatan kerja di Indonesia atau 38,29 juta bekerja di sektor pertanian.
Dalam masyarakat Indonesia yang agraris, menikah dini dan memiliki banyak anak adalah tradisi yang sudah dijalankan selama ribuan tahun. Alasannya? Semakin banyak anak, semakin banyak pula tenaga kerja murah meriah untuk menggarap sawah dan ladang. Tradisi “cepat menikah dan segera punya anak” ini diajarkan turun temurun sampai ke orangtua kita, lalu sampai ke generasi milenial masa kini.
Tradisi ini diperkuat oleh faktor religi, sampai sekarang terus menjadi dogma yang mengakar kuat di masyarakat. Itu sebabnya kita masih mendengar anggapan: “Banyak anak banyak rezeki.” Tapi masalahnya, kondisi tersebut sudah tidak relevan dengan zaman modern ini. Bukannya membuat keadaan jadi lebih baik, menikah cepat dan punya banyak anak malah menjadi sebuah masalah besar.
Sebuah organisasi bernama Plan International yang berfokus pada pengembangan anak dan perempuan, pernah melakukan penelitian bertajuk “Getting the Evidence Asia Child Marriage Initiative” di tahun 2015 lalu. Dari situ ditemukan bahwa kuatnya tradisi dan rendahnya mutu pendidikan dan ekonomi di masyarakat (terutama yang tinggal di pedesaan) menjadi pendorong anak muda menikah dini. Hal tersebut sudah berlangsung selama dari satu generasi ke generasi lainnya sehingga tercipta suatu norma bahwa pernikahan adalah sesuatu yang wajib dan harus disegerakan.
Baca juga:
Pernikahan Bukan Perlombaan, Jangan Ngebet Ngebut!
Yang patut Anda catat, Plan International melakukan penelitian itu di tiga negara, yakni di Pakistan, Bangladesh, dan Indonesia. Ketiga negara tersebut dijadikan lahan penelitian karena mereka adalah juaranya negara di Asia dengan tingkat pendidikan dan ekonomi terendah. Selain itu, ketiga negara tersebut juga banyak dipengaruhi oleh faktor tradisi yang kental.
Kenapa faktor ekonomi dan pendidikan rendah menjadi pendorong budaya ngebet nikah?
Jawabannya sederhana: pendidikan rendah membatasi perkembangan pola pikir manusia, sehingga orang jadi terkungkung dalam norma-norma kuno tanpa berani kritis mempertanyakannya. Menikah pada usia dini adalah sebuah kebiasaan masa lalu saat tidak begitu banyak opsi perkembangan hidup. Namun saat ini hal tersebut tidak lagi wajar, boro-boro menguntungkan.
Keterbatasan pendidikan sangat terkait dengan faktor ekonomi. Masyarakat yang belum sejahtera cenderung memiliki pendidikan rendah pula. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 96 juta jiwa dari total penduduk 240 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, hanya 18,4% yang mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Coba Anda perhatikan: dari sekian banyak penduduk Indonesia, ada berapa juta orang yang mampu menyelesaikan jenjang S2? Pangkalan Data Pendidikan Tinggi di tahun 2016 sampai 2017 menunjukkan bahwa hanya 119,9 ribu orang yang berhasil melewati jenjang S2.
Sayangnya, angka itu pun lebih didominasi oleh masyarakat kota. Sebagian besar pendidikan masyarakat pedesaan hanya sampai di bangku SMA tanpa pernah mencicipi dunia perkuliahan. Jadi, jangan heran kalau fenomena ngebet nikah sangat lazim terjadi di pedesaan.
Tapi … tunggu dulu! Bagaimana dengan masyarakat perkotaan? Bukankah pendidikan mereka jauh lebih tinggi daripada masyarakat pedesaan? Mengapa orang-orang kota juga banyak yang menikah muda dan bahkan dalam beberapa kasus, malah lebih ngebet nikah ketimbang orang desa? Lalu siapa yang bertanggung jawab meneruskan norma kuno tersebut?
Orangtua Dan Keluarga Adalah Pelakunya
Via tiaraamelia1.files.wordpress.com
Berani taruhan, Anda pasti sering mendengar alasan orang ngebet nikah karena desakan orangtua yang menganjurkan bersegera menikah demi mencegah perbuatan dosa. Mereka berperan besar dalam membentuk pola pikir masyarakat. Anda mungkin lebih percaya omongan orangtua ketimbang jurnal ilmiah yang membahas bahayanya menikah terlalu cepat.
Opini orangtua (yang seringkali berbasis pada tradisi dan kepercayaan) itu sudah mengakar kuat. Mereka bukan saja mewanti-wanti bahaya pacaran, tapi juga mempromosikan kehidupan yang lebih diberkati, bahagia, dan terhormat bila sudah menikah.
Tidak peduli berapa tanggung jawab hidup Anda, Anda dianggap anak kecil yang belum dewasa dan sempurna bila belum menikah. Pernikahan dijadikan life goal yang wajib dicapai sebagai penanda manusia dewasa.
Baca juga:
Coba Cek, Anda Pria Dewasa Atau Bayi Tua?
Banyak orangtua memelihara persepsi bahwa menikahkan anak sebagai pembuktian diri dalam membesarkan anak. Ada tekanan sosial yang dirasakan orangtua, karena bila sang anak belum menikah, mereka merasa gagal sebagai orangtua.
Tidak heran bila orangtua sering bersikeras anaknya menikah, walaupun pernikahan mereka pun tidak sebahagia itu. Ada banyak masalah yang enggan mereka bicarakan, namun dibiarkan begitu saja dan berfokus pada rencana pernikahan anak.
Ironis bukan? Orangtua ingin anaknya bahagia, tetapi malah menjerumuskannya ke dalam lubang yang penuh masalah demi status ‘dewasa’. Padahal zaman sekarang sudah berbeda. Pernikahan tidak lagi menjadi satu-satunya jalan pendewasaan dan kemandirian seseorang. Tidak menutup kemungkinan Anda bisa menjadi single yang lebih dewasa ketimbang teman-teman Anda yang sudah menikah.
Di satu sisi, pemikiran orangtua itu ada benarnya. Pernikahan akan memberikan banyak sekali kesempatan untuk memiliki kestabilan dan kematangan hidup. Namun, pernikahan itu sendiri selayaknya tidak dianggap sebagai jalur instan untuk dewasa. Menikah—atau menyegerakan diri menikah—bukanlah metode untuk mendewasakan diri.
Jangan heran bila Anda melihat teman yang mapan finansial dan berpendidikan tinggi, tetapi ngebet nikah seperti orang kebelet buang air besar: karena dogma yang ditanamkan dari orangtuanya (yang diturunkan dari kakek-neneknya, dari kakek-nenek-buyutnya, dari generasi ke generasi selama ratusan tahun).
Tidak peduli seberapa tinggi gaji dan pendidikan, bila dogma itu sudah ter-install kuat di otaknya, maka dia bakal ngebet nikah juga seperti orang berpendidikan rendah lainnya.
Jadi Bagaimana Faktor Ekonomi, Pendidikan, dan Orangtua Bisa Menciptakan Gelombang Budaya Ngebet Nikah?
Via Ngaji.web.id
Departemen Biostatika dan Kependudukan Universitas Airlangga pernah menerbitkan penelitian berjudul “Faktor yang Mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan” yang menjelaskan bagaimana ketiga hal itu membangkitkan ketergesaan untuk menikah.
Dalam penelitian tersebut, diketahui bahwa sekitar 64,3% remaja yang hanya sekolah sampai di sekolah dasar cenderung lebih dulu menikah ketimbang remaja yang berhasil mencapai bangku kuliah.
Selain itu, sekitar 47,6% remaja pengangguran lebih memilih menikah duluan daripada harus capek-capek bekerja seperti yang lain. Para remaja berpendidikan rendah dan pengangguran tersebut juga memiliki orangtua yang berpendidikan rendah dan sudah memasuki masa pensiun.
Bahkan Plan International mencatat ada 55,8% remaja pria Indonesia yang menikah muda karena masalah finansial. Di sisi lain, jumlah remaja wanita yang menikah muda karena alasan yang sama mencapai 58,8%. Jauh lebih banyak daripada pria.
Menikah adalah pencapaian hidup paling mudah bagi orang miskin dan berpendidikan rendah. Ada banyak sekali pencapaian yang bisa dikejar dalam hidup ini, tapi untuk meraih pencapaian tersebut, mereka terhambat oleh kemiskinan dan pendidikan rendah. Masuk akal, kan?
Faktor ekonomi dan pendidikan rendah memicu para orangtua mengompori anak-anak mereka untuk berumah tangga. Menikahkan anak dijadikan solusi peningkatan kesejahteraan keluarga: lelaki usia dewasa yang sudah bekerja didesak memiliki pasangan, sementara wanita usia dewasa didesak berpasangan agar perekonomian keluarga bisa terbantu oleh suaminya.
Baca juga:
Kebutuhan Anda Yang Perlu Dipenuhi, Orangtua Wajib Baca!
Dengan jumlah kemiskinan di Indonesia tetap meningkat tiap tahunnya, bisa dimengerti mengapa budaya ngebet nikah masih marak terjadi di abad ke-21!
Ketika orang-orang di belahan dunia lain sudah merenungkan resiko artificial intelligence dan merencanakan ekspansi ke Mars, penduduk negara ini masih berbondong-bondong menikah demi menyejahterakan diri. Kengebetan orang-orang untuk menikah itu adalah konfirmasi telak atas terpuruknya kondisi bangsa.
Indonesia Demographic and Health Survey menunjukkan bahwa orang kaya dan berpendidikan tinggi yang menikah hanya menembus angka 2,6% saja. Angka yang begitu kecil bila dibandingkan dengan orang-orang miskin yang ngebet nikah.
Lucunya, penduduk di negara-negara maju dengan tingkat ekonomi dan kesejahteraan tinggi justru memilih untuk menunda pernikahan. Alasannya sederhana: para orangtua di negara maju lebih menginginkan anak mereka untuk mengenyam pendidikan tinggi ketimbang menuntutnya menikah.
Para orangtua di negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa percaya kalau angka kelahiran yang tinggi berkorelasi positif terhadap bertambahnya jumlah pengangguran, kemiskinan, dan upah minimum yang diterima oleh tenaga kerja.
Kita ambil contoh negara maju seperti Jepang. Nikkei Asian Review melaporkan bahwa jumlah ketersediaan lapangan kerja meningkat tajam di tahun 2017. Hal tersebut membuat jumlah pengangguran menurun drastis sehingga hanya 2,08 juta orang yang menganggur dari jumlah total penduduk 123.583.658 jiwa.
Jumlah penduduk Jepang sangat berbeda jauh dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa di tahun 2017. Meski memiliki jumlah penduduk lebih banyak, Badan Pusat Statistik mencatat ada 7,01 juta penduduk Indonesia yang menganggur.
Mengapa jumlah penduduk yang tinggi justru membuat kesejahteraan menurun? Karena dengan semakin banyaknya jumlah tenaga kerja yang tersedia membuat upah minimum menjadi tidak kompetitif. Hal itu membuat banyak tenaga kerja yang bekerja di sektor non-formal dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika saja banyak orang di pemerintahan mau merenungkan tulisan ini lalu bekerjasama meningkatkan kesejahteraan dan pendidikan bangsa, niscaya fenomena ngebet nikah ini akan menghilang atau setidak-tidaknya memudar. Kita tidak lagi terburu-buru mengejar pernikahan karena kondisi ekonomi dan sosial. Kita akan berfokus mengisi usia dewasa dengan kegiatan produktif yang membahagiakan diri sendiri maupun memberikan nilai bagi masyarakat. Pernikahan baru dilakukan setelah ada kemapanan mental dan finansial, bukan demi meraih kedua hal itu.. sehingga anak terlahir dalam keluarga yang sudah nyaman dan tercukupi.
Sebagai penutup, pikirkan ini: kecepatan menikah Anda terkait dengan peningkatan jumlah penduduk. Bayangkan bila ada satu juta orang Indonesia yang menikah dini dan masing-masing keluarga memiliki satu orang anak. Dalam dua puluh tahun ke depan, anak Anda akan bersaing ketat bersama satu juta orang lainnya mencari pekerjaan dengan upah di bawah standar. Itu pun kalau anak Anda berhasil mendapat kerja, bagaimana kalau tidak? Maka anak Anda berpotensi meneruskan kemiskinan negara ini.
Hasilnya? Kesejahteraan semakin menjauh, bahkan seperti utopia. Dan Anda pun jadi terjebak mengulangi kekeliruan orangtua dan menekan anak-anak Anda nanti untuk bersegera menikah.
Sedih ‘kan? :)
Bila Anda penasaran apa kaitannya ngebet nikah dengan istilah Daredevil, klik baca artikel terkait yang sudah di-share 1,400 orang lebih ini: KALAU SERIUS, JUSTRU TIDAK NGEBUT!