Realita Di Balik Si Pendiam

Home Articles Realita Di Balik Si Pendiam
Share the knowledge!

Anda pasti sering mendengar ini: orang pendiam biasanya cerdas. Memang terdengar bagus, tapi saya tidak setuju. Anda tahu jika kebanyakan diam malah membuat Anda dicap tolol?

16 tahun lalu ketika saya masih kinyis-kinyisnya, saya jauh lebih cerewet dari sekarang. Mungkin karena belum punya rasa takut, saya bebas membicarakan apa saja. Ngobrolin tentang pegulat Smackdown atau anime minggu pagi sudah jadi rutinitas di sekolah. Tidak terhitung berapa kali guru melempari saya dengan kapur tulis karena ngobrol di jam pelajaran. Meski jadi biang ribut di kelas, saya banyak dikelilingi teman-teman karena (kata mereka) saya asik diajak ngobrol.

Suatu ketika saya iseng-iseng ke perpustakaan sekolah karena bosan bermain dengan murid lain. Perpustakaan itu letaknya di belakang gedung sekolah dan sedikit tertutup pepohonan. Cat dindingnya sudah menguning sehingga kesannya terlantar. Suasananya seperti kuburan jika tidak diramaikan kicauan burung gereja di atap. Tidak ada murid lain di sana kecuali penjaga perpustakaan yang wajahnya muram seperti Profesor Snape.

Pertama kali masuk ke perpustakaan itu, saya kagum dengan ribuan buku terbitan lama yang berdesakan di rak. Udaranya pengap karena dipenuhi aroma buku dan debu. Mungkin saya sudah mati tercekik kalau tidak ada kipas angin besar yang menyegarkan ruangan.

Saya tarik sebuah buku di rak paling bawah dan membacanya. Dua jam kemudian saya sadar bel masuk sekolah sudah dua kali berbunyi, tapi buku-buku seolah membisiki saya untuk terus berada di sana. Itu pertama kalinya saya membolos karena keasikan membaca.

Esoknya saya datang lagi ke perpustakaan dan melanjutkan bacaan yang belum selesai. Begitu tamat satu buku, lanjut ke buku lainnya. Kegiatan itu berlangsung sampai hari-hari berikutnya. Tanpa disadari, saya mulai menyingkir dari pergaulan karena saya menghabiskan banyak jam istirahat di perpustakaan. Tidak terpikir itu akan berdampak buruk di kehidupan saya selanjutnya.

Semenjak rutin membaca, entah mengapa obrolan teman-teman jadi tidak menarik lagi. Saya lebih tertarik bila ada yang membahas novel ketimbang obrolan tentang anime atau sepak bola. Sulit sekali nyambung dengan mereka. Saya mulai dicap aneh karena suka menyendiri di perpustakaan daripada ngobrol bareng yang lain.

Setiap kali saya mencoba nimbrung ke obrolan, mereka langsung menghujat: “Huuuuu, dasar kutu buku. Tahu apa sih kamu?” Akibatnya saya jadi takut ngobrol karena diejek. Lebih baik mereka saja yang ngobrol, sementara saya mendengarkan di belakang.

Ketertutupan itu malah memperparah ejekan sebelumnya. Saya pun dicap tolol karena beberapa murid yang intelegensinya di bawah rata-rata juga melakukan hal yang sama. Teman-teman saya berkurang drastis. Saya kesepian karena tidak ada yang mau berteman dengan orang tolol.

Kebiasaan diam itu terbawa sampai saya dewasa. Saya jadi susah mengatakan isi pikiran karena takut bakal diejek. Di pekerjaan misalnya, saya tidak berani menolak bila mendapat tugas yang menurut saya mustahil diselesaikan. Ujung-ujungnya saya jadi stres sendiri dan menyesal kenapa kemarin tidak menolaknya.

Daripada mengeluarkan isi pikiran yang bisa berakhir perdebatan, saya cenderung main aman dengan bercanda atau membadut. Tapi itu membuat saya diremehkan dan jadi bahan tertawaan orang lain. Untuk kesekian kalinya, saya stres lagi karena tidak mau ditertawakan.

Ejekan yang berlangsung lama itu membuat saya lelah. Saya bukan orang tolol, melainkan kelakuan saya yang seperti orang tolol. Saya tidak mau cap itu menempel sampai ke liang kubur.

Apabila saya terus diam tanpa inisiatif berubah, maka saya benar-benar tolol seperti yang mereka bilang. Saya akan menghabiskan hari-hari di kamar dan tidak pernah menikmati serunya punya banyak teman. Hidup saya yang sekarang tidak ada bedanya saat masih SD dulu. Begitu terus sampai saya tua. Cuma orang tolol yang tidak ingin ada peningkatan dalam hidupnya.

Saya tahu ada jutaan nerd di luar sana yang kesulitan bergaul dan kesepian. Coba bayangkan betapa sulitnya hari-hari Anda jika tidak punya teman. Anda tidak punya tempat bersenang-senang ketika hati terluka karena ditinggal nikah mantan. Kemungkinan besar Anda juga akan menjadi pengangguran karena tidak ada teman yang menawarkan pekerjaan. Anda pasti tidak mau hidup menyedihkan seperti itu bukan?

Sumpah, saya tidak mau. Anda pasti tidak mau begitu juga kan? Apa pun yang terjadi, kita harus memperbaiki kekurangan itu sebelum terlambat.

Solusinya, waktu harus dibagi. Kemampuan ngobrol saya hancur berantakan karena semua waktu luang dipakai untuk menyendiri dan membaca. Saya perlu menambah skill ngobrol agar orang-orang gembira dan ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan saya. Untuk melatih skill itu, saya harus mengorbankan waktu membaca dan mengantinya dengan ikut komunitas atau kegiatan lain yang dipenuhi banyak orang.

Jika sebelumnya saya habiskan 90% baca dan 10% ngobrol, sekarang saya bagi jadi 50% baca dan 50% ngobrol. Semakin banyak waktu yang dinvestasikan untuk ngobrol, semakin mahir pula lidah saya berkata-kata.

Contoh nyatanya begini: setiap weekends antara 10.00-18.00, saya memaksa diri ke luar rumah dan bergaul seperti sewajarnya makhluk hidup. Kehausan membaca saya lampiaskan di malam hari ketika sendiri menjelang istirahat.

Ketika bergaul itu, saya memaksa diri bercerita  segala sesuatu yang pernah saya baca. “Kamu lagi main video game apa?” atau “Kamu lagi baca apa sekarang?” Terserah jawabannya apa, yang penting mulut saya bercuap-cuap tanpa takut diejek.

Itu cara yang saya lakukan, bagaimana dengan Anda?

Ada anggapan kalau orang cerdas cenderung pendiam. Ucapan sesat itu yang membuat ribuan orang cerdas -mungkin termasuk Anda- suka mematung ketika bertemu banyak orang. Tidak salah jika Anda ingin diam, tapi lakukan itu ketika Anda sedang lelah atau sendirian. Pada saat bersama orang lain, itu adalah kesempatan untuk berbagi ide yang pasti berguna untuk mereka.

Coba lihat sekeliling, apa ada orang hebat yang tidak terbiasa bicara? Apa Steve Jobs cuma bengong di pojok ruangan saat rapat penting? Apa Socrates cuma jadi pajangan di depan murid-muridnya? Saya yakin mereka tidak sungkan memuntahkan ide di kepala mereka. Orang cerdas tidak pernah diam saat berada di situasi yang mengharuskannya bicara.

Catat ini: kadang “Diam adalah emas”, kadang “Bicara adalah emas.” Karena bicara bisa membantu menyelesaikan masalah orang banyak, jangan ragu mengatakannya. Percayalah, itu lebih terhormat ketimbang cuma membisu.

Di zaman sekarang, skill ngobrol mutlak diperlukan di berbagai bidang pekerjaan. Anda harus pandai bergaul dengan atasan bila ingin mendapat peningkatan jabatan. Jika cuma diam, atasan tidak akan tahu kebutuhan Anda sehingga posisi Anda tetap di situ-situ saja. Skill itu juga berguna dalam romansa karena salah satu faktor keintiman hubungan adalah dengan mengobrol. Bagaimana Anda bisa mengungkapkan rasa sayang ke pasangan kalau cuma diam?

Apalagi saat PDKT, mana mungkin jadi orang pendiam? Anda harus punya topik seru yang bisa menenggelamkannya dalam obrolan. Kalau bicara saja masih kaku, maka gebetan akan memandang Anda sebagai makhluk yang membosankan. Oleh sebab itu Anda harus jadi jawara bersilat lidah demi bisa memancingnya ngobrol asik.

apa benar diam itu bernilai emas

Jika Anda bingung dengan topik apa yang cocok untuk membuka obrolan, Anda bisa mendapatkannya di ebook 50 Topik Ngobrol. Ada kata-kata magic penuh pesona tidak ada habisnya yang bisa Anda tiru dan terapkan di obrolan sehari-hari. Beli sekarang atau dia keburu disalip oleh orang lain yang Anda takutkan itu.

Mau diam sampai kapan? Apa tunggu dicap tolol oleh orang lain baru Anda mau memperbaiki diri?

Saya sih tidak mau.

Share the knowledge!